Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pilpres 2014 Belum Tentu Satu Putaran

14 Juni 2014   05:02 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah hal yang lucu dan terkesan paradoksal. Saya berkali-kali menulis analisis hukum melalui media kompasiana, sangat sedikit yang berkenan membacanya. Berbeda halnya kalau lagi sempat menulis, berita ataukah opini yang sedang mengirim signal tuduhan kepada seorang atau kelompok tertentu. Tujuannya yang sangat tendensius, dipastikan banyak sekali yang membuka laman tersebut, bahkan sampai meninggalkan komentar pada artikel itu.

Dan sampai hari ini, dari pengalaman saya,sudah dua tahun gabung sebagai kompasianer, belum pernah sekalipun juga artikel, yang sudah menguras "otak", bernalar untuk memberikan pendapat, kemudian artikel hukum  saya akan menjadi headline. Maka melalui tulisan ini, lagi-lagi saya tak pernah memberi harapan akan menjadi kajian yang dikunjungi oleh banyak kompasianer, termasuk tidak perlu menunggunya untuk  nongol di garis headline kompasiana.

Para kompasianer sekalian, kali ini sedikit saya akan menyebarkan pemikiran hukum yang saat ini sedang lagi mencuat isunya di media. Yaitu  Dua Capres Yang Sudah Diresmikan Oleh Kpu, Ternyata Masih Dimungkinkan Akan Mengalami Pemilihan Dua Putaran".

Pada hari sebelumnya analisis ini sudah saya kaji lebih dahulu melalui website: negarahukum.com (BERIKUT LINKNYA "DUA CAPRES DUA PUTARAN?) Pada bagian ini, merupakan kelanjutan analisis, hanya untuk sekedar mempertajam tulisan yang kemarin.

Salah satu kecurigaan akan munculnya Pilpres dua putaran untuk Pilpres 2014 ini. Disebabkan oleh kententuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945, dan selanjutnya pengaturan masalah persebaran 20 % jumlah suara di setengah jumlah provinsi di indonesia itu, kemudian dipertegas lagi melalui Pasal 159 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan umum Presiden/ Wakil Presiden.

Kini ketentuan tersebut yang dikhawatirkan akan menimbulkan kepastian hukum di masa pemilihan presiden dan wakil presiden nanti. Dan sekarang, juga Sedang digugat oleh Perludem di MK. Perludem berharap kepada MK memberikan tafsir atas ketentuan Pasal 6A ayat 3 tersebut.

Dalam hemat saya, sebenarnya ini belum menjadi masalah yang urgen, untuk sesegara mungkin harus di gugat ke MK, termasuk adanya keinginan agar Presiden mengeluarkan Perppu terkait ketentuan Pasal 6A ayat 3 tersebut "harus ada pengaturan yang jelas" untuk Capres yang kini hanya berjumlah dua pasangan.

Pertama, oleh karena kalau dimisalkan masalah ini tidak digugat sekarang, pun dimasa mendatang kalau dari dua pasangan Capres yang ada itu, satu diantaranya menang dengan 50 % plus satu, tapi tidak memperoleh persebaran suara 20 % untuk setengah jumlah provinsi (yaitu 17 Provinsi/dari 34 jumlah Provinsi di seluruh indonesia), bagaimanapun Capres tersebut akan menggugat ke MK. Dan di situ MK, pasti akan menafsirkan ketentuan Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 dimana wailayah berlakunya.

Kedua, suasana "urgentnya" juga belum terbaca, sebab uji "kecurigaan" tidak terpenuhinya syarat tambahan 20 % di setengah jumlah provinsi belum tentu akan terjadi "dilapangan". Karena kalau berangkat dari pengalaman Pilpres 2009, dengan tiga pasangan saja, waktu itu SBY yang berpasangan Boediono berhasil memperoleh suara malah di atas 60% dan persyaratan sebaran suara 20 persen bukan hanya setengah jumlah provinsi yang tercapai, juga dilampau persyaratan itu. Apalagi kalau untuk dua capres, pasti syarat tambahan tersebut, bukanlah hal yang terlalu patut untuk dicurigai akan menimbulkan ketidakpastian.

Filosofi Persebaran Suara 20 % Di Setengah Jumlah Provinsi

Lahirnya Pasal 6A ayat 3 tidak boleh dimaknai sebagai sumber yang memunculkan masalah, hanya karena menimbulkan masalah baru jika terdapat dua Capres. Tetapi dengan adanya syarat tambahan, disamping yang dapat dilantik setelah memperoleh suara 50 % plus satu, harus pula mendapatkan 20 % sebaran suaranya untuk jumlah setengah Provinsi di indonesia. Tidak lain, dimaksudkan sebagai "wadah" rasa memiliki dari semua rakyat indonesia atas Presiden yang akan dipilihnya. Bahwa yang namanya pemerintah, rakyat, dan wilayah harus  dimaknai sebagai satu kesatuan entitas yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan idealnya kalau kita mau berbicara dalam tatanan demokrasi yang ideal, harusnya persebaran suara itu 50 % persen untuk setengah jumlah provinsi. Namun karena hal itu akan menyebabkan perjalanan demokrasi yang justru akan menyita waktu, maka oleh para perumus kebijakan itu ditoleril, cukup 20 % saja dari setengah jumlah Provinsi yang ada di negeri ini.

Sekarang pertanyaannya, apakah sebaran suara di setengah jumlah provinsi itu tidak berlaku untuk konteks dua capres? Jawabannya, kalau berangkat dari filosofi di atas mestinya tetap berlaku. Dan  kalau sekiranya salah satu pasangan dari capres itu terpilih dengan suara 50 % plus satu, tidak cukup angka sebaran suaranya di setengah jumlah provinsi. Maka dua pasangan Capres tersebut, harus di adu penalti dalam putaran ke dua, untuk selanjutnya yang akan dilantik adalah pasangan yang memperoleh suara terbanyak, sebagaimana ketentuan yang ditetapkan melalui Pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945.

Keluar dari Maksud Pasal 6A ayat 3

Ada beberapa alasan, dalam hemat saya mesti kita keluar dari maksud Pasal 6A ayat 3 tersebut:

Pertama, maksud dari para perumus amandemen UUD NRI 1945 lahirnya pasal 6A ayat 3, merupakan satu kesatuan dengan Pasal 6A ayat 2, pada ayat 2 ditegaskan "pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Maksud dari ayat 2 dalam Pasal 6A "bahwa akan dimungkinkan muncul banyak calon wakil presiden, oleh sebab itu sulit untuk memperoleh suara 50 % plus satu jika jumlah capres nya banyak, maka mau tidak mau harus di adu dua calon pengumpul suara terbanyak , pada tahap berikutnyadi putaran kedua. Mari melihat ketika mereka diadu dalam putaran kedua, disana tidak ada lagi syarat baik yang 50 % plus satu maupun syarat tamabahan 20 % itu, tetapi siapa yang menjadi pengumpul suara terbanyak itu yang dilantik. Dan dalam putaran kedua hanya terdapat dua Capres, itu artinya mestinya dua capres yang ada sekarang tidak lagi mesti tunduk pada angka 50 % dan syarat tambahannya, tetapi cukup nanti siapa sesungguhnya pengumpul suara terbanyak. Tentu dalam poin ini akan muncul pertanyaan, apakah maksud filsufis syarat tambahan tersebut tereliminir? Ya benar tereliminir, tapi bukankah dalam jumlah Capres yang banyak, kemudian diadakan Pilpres putaran kedua, disana maksud filsufis sebaran suara itu juga sudah diabaikan. Artinya, kalau pasangan Capres yang tersedia hanya dua, maka harus kembali dimaknai untuk tunduk pada ketentuan Pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945.

Kedua, dalam kalkulasi, seandainya diadakan pemilihan dua putaran, sebab syarat sebaran 20 % tidak mencukupi, mekanisme pengulangan itu sebenarnya akan sia-sia. Sebab pada putaran pertama sudah terbaca pengumpul suara terbanyak, lalu kira-kira dilaksanakan tahap kedua kemungkinan besar jumlah suaranya tidak jauh dari angka sebelumnya. Di luar itu, jika diulang dengan calon tetap yang itu-itu saja, pasti akan menimbulkan masalah lain pula di kalangan pemilih yang jenuh, dan tidak mau lagi datang memilih. Akhirnya, kalau banyak pemilih yang melakukan itu, pasti legitimasi kedaulatan pemerintah terpilih justru akan melemah. Jadi, lebih baik Pilpres karena hanya ada dua capres cukup satu putaran dengan bersandarkan pada siapa pasangan pengumpul suara terbanyak.

Ketiga, sama dengan pendapat saya sebelumnya di web site negarahukum.com, bahwa tujuan hadirnya angka 50 % plus satu dengan syarat sebaran suara 20 % di setengah jumlah provinsi, itu muncul karena perumus amandemen UUD NRI 1945 dikhususkan untuk Capres yang berjumlah banyak (minimal di atas dua pasangan). Nah, Kalau jumlah Capresnya hanya dua pasangan, syarat untuk harus ikut  keputaran ke dua dengan sendirinya gugur, karena bukankah putaran kedua hadir karena jumlah capres yang banyak. Hal ini sejalan pula dengan model penafsiran argentum a contario, menafsirkan berbeda dari maksud dari ketentuan tersebut. Yakni fenomena capres dua putaran muncul karena jumlah capres banyak, berarti kalau jumlah capresnya hanya dua, tidak ada istilah dua putaran, tapi hanya satu putaran.

Cukup sampai di sini dulu penjelasan saya, bagi teman-teman kompasianer yang punya pendapat lain dari  analisis ini, silahkan dikomentari. Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun