Sekarang pertanyaannya, apakah sebaran suara di setengah jumlah provinsi itu tidak berlaku untuk konteks dua capres? Jawabannya, kalau berangkat dari filosofi di atas mestinya tetap berlaku. Dan  kalau sekiranya salah satu pasangan dari capres itu terpilih dengan suara 50 % plus satu, tidak cukup angka sebaran suaranya di setengah jumlah provinsi. Maka dua pasangan Capres tersebut, harus di adu penalti dalam putaran ke dua, untuk selanjutnya yang akan dilantik adalah pasangan yang memperoleh suara terbanyak, sebagaimana ketentuan yang ditetapkan melalui Pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945.
Keluar dari Maksud Pasal 6A ayat 3
Ada beberapa alasan, dalam hemat saya mesti kita keluar dari maksud Pasal 6A ayat 3 tersebut:
Pertama, maksud dari para perumus amandemen UUD NRI 1945 lahirnya pasal 6A ayat 3, merupakan satu kesatuan dengan Pasal 6A ayat 2, pada ayat 2 ditegaskan "pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Maksud dari ayat 2 dalam Pasal 6A "bahwa akan dimungkinkan muncul banyak calon wakil presiden, oleh sebab itu sulit untuk memperoleh suara 50 % plus satu jika jumlah capres nya banyak, maka mau tidak mau harus di adu dua calon pengumpul suara terbanyak , pada tahap berikutnyadi putaran kedua. Mari melihat ketika mereka diadu dalam putaran kedua, disana tidak ada lagi syarat baik yang 50 % plus satu maupun syarat tamabahan 20 % itu, tetapi siapa yang menjadi pengumpul suara terbanyak itu yang dilantik. Dan dalam putaran kedua hanya terdapat dua Capres, itu artinya mestinya dua capres yang ada sekarang tidak lagi mesti tunduk pada angka 50 % dan syarat tambahannya, tetapi cukup nanti siapa sesungguhnya pengumpul suara terbanyak. Tentu dalam poin ini akan muncul pertanyaan, apakah maksud filsufis syarat tambahan tersebut tereliminir? Ya benar tereliminir, tapi bukankah dalam jumlah Capres yang banyak, kemudian diadakan Pilpres putaran kedua, disana maksud filsufis sebaran suara itu juga sudah diabaikan. Artinya, kalau pasangan Capres yang tersedia hanya dua, maka harus kembali dimaknai untuk tunduk pada ketentuan Pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945.
Kedua, dalam kalkulasi, seandainya diadakan pemilihan dua putaran, sebab syarat sebaran 20 % tidak mencukupi, mekanisme pengulangan itu sebenarnya akan sia-sia. Sebab pada putaran pertama sudah terbaca pengumpul suara terbanyak, lalu kira-kira dilaksanakan tahap kedua kemungkinan besar jumlah suaranya tidak jauh dari angka sebelumnya. Di luar itu, jika diulang dengan calon tetap yang itu-itu saja, pasti akan menimbulkan masalah lain pula di kalangan pemilih yang jenuh, dan tidak mau lagi datang memilih. Akhirnya, kalau banyak pemilih yang melakukan itu, pasti legitimasi kedaulatan pemerintah terpilih justru akan melemah. Jadi, lebih baik Pilpres karena hanya ada dua capres cukup satu putaran dengan bersandarkan pada siapa pasangan pengumpul suara terbanyak.
Ketiga, sama dengan pendapat saya sebelumnya di web site negarahukum.com, bahwa tujuan hadirnya angka 50 % plus satu dengan syarat sebaran suara 20 % di setengah jumlah provinsi, itu muncul karena perumus amandemen UUD NRI 1945 dikhususkan untuk Capres yang berjumlah banyak (minimal di atas dua pasangan). Nah, Kalau jumlah Capresnya hanya dua pasangan, syarat untuk harus ikut keputaran ke dua dengan sendirinya gugur, karena bukankah putaran kedua hadir karena jumlah capres yang banyak. Hal ini sejalan pula dengan model penafsiran argentum a contario, menafsirkan berbeda dari maksud dari ketentuan tersebut. Yakni fenomena capres dua putaran muncul karena jumlah capres banyak, berarti kalau jumlah capresnya hanya dua, tidak ada istilah dua putaran, tapi hanya satu putaran.
Cukup sampai di sini dulu penjelasan saya, bagi teman-teman kompasianer yang punya pendapat lain dari analisis ini, silahkan dikomentari. Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H