Sebuah hal yang lucu dan terkesan paradoksal. Saya berkali-kali menulis analisis hukum melalui media kompasiana, sangat sedikit yang berkenan membacanya. Berbeda halnya kalau lagi sempat menulis, berita ataukah opini yang sedang mengirim signal tuduhan kepada seorang atau kelompok tertentu. Tujuannya yang sangat tendensius, dipastikan banyak sekali yang membuka laman tersebut, bahkan sampai meninggalkan komentar pada artikel itu.
Dan sampai hari ini, dari pengalaman saya,sudah dua tahun gabung sebagai kompasianer, belum pernah sekalipun juga artikel, yang sudah menguras "otak", bernalar untuk memberikan pendapat, kemudian artikel hukum saya akan menjadi headline. Maka melalui tulisan ini, lagi-lagi saya tak pernah memberi harapan akan menjadi kajian yang dikunjungi oleh banyak kompasianer, termasuk tidak perlu menunggunya untuk nongol di garis headline kompasiana.
Para kompasianer sekalian, kali ini sedikit saya akan menyebarkan pemikiran hukum yang saat ini sedang lagi mencuat isunya di media. Yaitu  Dua Capres Yang Sudah Diresmikan Oleh Kpu, Ternyata Masih Dimungkinkan Akan Mengalami Pemilihan Dua Putaran".
Pada hari sebelumnya analisis ini sudah saya kaji lebih dahulu melalui website: negarahukum.com (BERIKUT LINKNYA "DUA CAPRES DUA PUTARAN?) Pada bagian ini, merupakan kelanjutan analisis, hanya untuk sekedar mempertajam tulisan yang kemarin.
Salah satu kecurigaan akan munculnya Pilpres dua putaran untuk Pilpres 2014 ini. Disebabkan oleh kententuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945, dan selanjutnya pengaturan masalah persebaran 20 % jumlah suara di setengah jumlah provinsi di indonesia itu, kemudian dipertegas lagi melalui Pasal 159 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan umum Presiden/ Wakil Presiden.
Kini ketentuan tersebut yang dikhawatirkan akan menimbulkan kepastian hukum di masa pemilihan presiden dan wakil presiden nanti. Dan sekarang, juga Sedang digugat oleh Perludem di MK. Perludem berharap kepada MK memberikan tafsir atas ketentuan Pasal 6A ayat 3 tersebut.
Dalam hemat saya, sebenarnya ini belum menjadi masalah yang urgen, untuk sesegara mungkin harus di gugat ke MK, termasuk adanya keinginan agar Presiden mengeluarkan Perppu terkait ketentuan Pasal 6A ayat 3 tersebut "harus ada pengaturan yang jelas" untuk Capres yang kini hanya berjumlah dua pasangan.
Pertama, oleh karena kalau dimisalkan masalah ini tidak digugat sekarang, pun dimasa mendatang kalau dari dua pasangan Capres yang ada itu, satu diantaranya menang dengan 50 % plus satu, tapi tidak memperoleh persebaran suara 20 % untuk setengah jumlah provinsi (yaitu 17 Provinsi/dari 34 jumlah Provinsi di seluruh indonesia), bagaimanapun Capres tersebut akan menggugat ke MK. Dan di situ MK, pasti akan menafsirkan ketentuan Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 dimana wailayah berlakunya.
Kedua, suasana "urgentnya" juga belum terbaca, sebab uji "kecurigaan" tidak terpenuhinya syarat tambahan 20 % di setengah jumlah provinsi belum tentu akan terjadi "dilapangan". Karena kalau berangkat dari pengalaman Pilpres 2009, dengan tiga pasangan saja, waktu itu SBY yang berpasangan Boediono berhasil memperoleh suara malah di atas 60% dan persyaratan sebaran suara 20 persen bukan hanya setengah jumlah provinsi yang tercapai, juga dilampau persyaratan itu. Apalagi kalau untuk dua capres, pasti syarat tambahan tersebut, bukanlah hal yang terlalu patut untuk dicurigai akan menimbulkan ketidakpastian.
Filosofi Persebaran Suara 20 % Di Setengah Jumlah Provinsi
Lahirnya Pasal 6A ayat 3 tidak boleh dimaknai sebagai sumber yang memunculkan masalah, hanya karena menimbulkan masalah baru jika terdapat dua Capres. Tetapi dengan adanya syarat tambahan, disamping yang dapat dilantik setelah memperoleh suara 50 % plus satu, harus pula mendapatkan 20 % sebaran suaranya untuk jumlah setengah Provinsi di indonesia. Tidak lain, dimaksudkan sebagai "wadah" rasa memiliki dari semua rakyat indonesia atas Presiden yang akan dipilihnya. Bahwa yang namanya pemerintah, rakyat, dan wilayah harus  dimaknai sebagai satu kesatuan entitas yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan idealnya kalau kita mau berbicara dalam tatanan demokrasi yang ideal, harusnya persebaran suara itu 50 % persen untuk setengah jumlah provinsi. Namun karena hal itu akan menyebabkan perjalanan demokrasi yang justru akan menyita waktu, maka oleh para perumus kebijakan itu ditoleril, cukup 20 % saja dari setengah jumlah Provinsi yang ada di negeri ini.