Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Kedua Untuk Bupatiku di Sinjai

26 September 2014   00:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:31 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terus terang, dan aku ingin berkata jujur pasca menyebarnya surat anak petani untuk Bupati Sinjai kemarin, saya adalah pelakunya. Sampai kapanpun tetap saya akan mengakuinya, jika itu adalah orisinil suara-suara jiwa yang terdendangkan setelah menyaksikan kampung halamanku, Kabupaten Sinjai. Kalaupun ada pendukung Bupati Sinjai: Sabirin Yahya merasa terusik atas pergunjingan keramaian warga Sinjai akhir-akhir ini. Aku memohon maaf,  kalau ada yang menganggap aku berbuat salah.

Sendainya semua orang sepakat untuk membuka "mata batin"-nya. Pasti tidak ada kebencian kepada saya sebagai pengirim suratnya. Termasuk saya pribadi, sedalam-dalamnya hati dan jiwa itu melebur, baru kali kemarin, aku berani menuliskan keresahan-keresahan itu.

Kepada kawan, saudaraku, kuakui dan saya berkata jujur. Saya amat terusik dengan salah satu tuduhan di salah satu media sosial atas menyebarnya surat terbuka itu. Oleh kemudian ada pendukung bpk Bupati, yang menganggap saya penulis yang berpengalaman telah berafiliasi dengan media politik. Sampai tuduhan itu sepekan masih selalu mengganggu alam tidur saya.

Kepada yang merasa "melemparkan" tuduhan itu, yang pernah meragukan eksistensi saya. Aku ingin bertanya kepadamu: apakah yang dimaksud media politik itu. Aku tidak mengerti. Tolong jelaskan kepada diriku ini, yang hanya anak kampung, anak petani dari dusun seberang, karena terminologi itu aku kurang mengerti maknanya. Lalu anda pula mengingkari kalau aku sebagai anak petani, yang konon katanya memiliki kemampuan menulis. Seumur hidupku, baru kali ini ada orang lain yang mau mengingkari pekerjaan itu, yang namanya petani. Biasanya anak kebanyakan, ketika membaur anak kota, mereka tidak mau mengaku sebagai anak petani. Tetapi ini sebuah kehormatan dan anugerah yang terindah dalam hidupku, ketika ada orang mau mengingkari profesiku sebagai Petani.  Sekali lagi, kuhaturkan terima kasih yang tiada terhingga untukmu. Dan baiklah kalau begitu, aku akan mengubah pekerjaanku, aku adalah seoarang sarjana yang berprofesi sebagai petani. Karena itulah ilmu, demikianlah pendidikan, anak petanipun dijamin haknya untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan oleh konstitusi kita.

Bapak Bupatiku yang kukagumi, kupercaya. Jika ada orang-orang yang melempar "isu" kalau surat kemarin yang aku kirim ke media sosial. Saya adalah lawan politikmu. Tunggu dulu, aku berani bersumpah demi Allah dan tanah leluhurku (Sinjai), aku  tidak sama sekali memiliki kepentingan, dengan semua yang orang klasifikasikan sebagai lawan politik.

Jika ada yang menganggap, aku punya niat untuk menjatuhkanmu. Atas gegernya surat ini di Kabupaten  Sinjai. Lagi-lagi aku  menuturkan tidaklah demikian. Mana mungkin aku yang terlahirkan sebagai anak petani ini, manalah kekuatan kuasa itu aku miliki. Dalam dunia pendidikan yang pernah mengajariku, menjatuhkan pemimpin itu tidak baik, karena stabilitas daerah pasti akan terguncang, dan yang menderita toh juga warga nantinya.

Labih dari pada itu semua, aku hanya ingin engkau membuka mata terhadap kampungmu, kampung kita, kampung saya, kampung kita bersama. Ada banyak goresan resah dan derita yang harus kita bahagiakan.

Wahai Bupatiku, yang kupercaya, Sabirin Yahya. Pasca menyebarnya surat itu kemarin, begitu banyak suara-suara wargamu yang menyuruhku untuk menyampaikan berita derita kepadamu. Namun karena soal waktu dan kesempatan, tiadalah waktu aku dapat menyampaikannya secara lisan.  Kumohon maaf jika kusampaikan aspirasi mereka melalui tulisan, hanya dengan surat usang ini.

Cukup sudah aku menceritakan keresahan kampungku kemarin, yang mana lahan pertaniannya banyak diserang hama dan penyakit. Aku tidak mau lagi membahas soal itu, karena bapak sudah tahu mungkin. Di antara mereka ada yang menyampaikan kepadaku:  kenapa lampu jalan di Sinjai tidak pernah menyala di malam hari, Kota Sinjai katanya kembali mundur di zaman kuno saat kita hanya memakai pelita. Di dusun Gareccing, ada pula yang mempertanyakan, kapan dirimu akan memperbaiki jalan rusak di sana.

Di daerah Lappa, daerah ini tak jauh dari kantor jabatanmu, mereka meresahkan "betapa susahnya, katanya mereka mendapat air bersih, padahal dirimu, dahulu kala saat mencalonkan sebagai kandidat kepala daerah,  akan menyuplai air bersih untuk mereka. Dulu memang sumber air itu lancar, tetapi hanya beberapa bulan, sumber airnya tidak lagi mengalir.

Bapak Bupatiku!!!

Sungguh yang membuat saya amat tersinggung dan terpukul atas berita seorang kawan, di jejaring sosial ketika ia mengatakan "rumah jabatan sudah tertidur", katanya bapak sebagai pimpinan daerah jarang berkantor,  di kantor daerah. Aku berusaha untuk tidak percaya atas berita itu. Tetapi jikalau benar, amat miris hatiku mendengarnya. Bukankah ini adalah amanah dan tanggung jawabmu, wahai Bupatiku yang kukagumi.

Selebihnya, banyak pula warga yang mempertanyakan keberadaanmu, tidak pernah memunculkan batang hidungmu, dalam setiap perayaan hari besar Sinjai. Engkau kemana bapak Bupatiku saat itu? Sehingga tak ada waktumu untuk bersua bersama mereka. Terlalu sibukkah dirimu selama ini?

Sudahlah, jangan kita mengorek masa lalu, membandingkan dengan pendahulu-pendahulu sebelumnya. Kalau memang Persin, kemarin tidak sukses meraih juara pada perhelatan Porda di Kabupaten Bantaeng, masih ada waktu di lain hari mungkin kita bisa menang.

Saya ingin menutup surat ini, dengan sebuah cerita yang benar-benar membuat bulir air mataku, pribadi, sulit kubendung. Tat kala beberapa bulan lalu, aku menyaksikan seorang anak SMA, di kampungku sendiri. Kulihat anak itu meminta uang transport untuk berangkat ke sekolahnya, di SMA Bikeru.  Tapi sang ibu berkata "nak se-senpun ini sekarang tidak ada uangku". Anak itu lalu pergi, dan mengatakan kepada Ibunya; "iya mak, tidak apa-apa kalau tidak ada, saya jalan kaki saja." Beruntunglah sang anak masih punya nenek, saat sang anak meninggalkan ibunya, neneknya mengejar seraya berteriak 'ini ada uangku, tunggu saya".

Mungkin cerita ini terlalu sedih bagiku sebagai anak petani walau kini aku sudah menyandang gelar sarjana, pernah juga merasakan situasi demikian. Sebagai manusia yang terlahirkan, adikodrati dikaruniai ketegaran dan kelembutan. Bapak Bupatiku, saya yakin engkaupun tergugah dengan cerita itu. Sebab itu, marilah Bapak membangun Sinjai, hadir dan membaur bersama mereka, bahwa tidak ada sekat yang bisa membatasi untuk kita semua, agar kita bisa tertawa bersama.

Salam Hormatku, Bapak Bupatiku: Sabirin Yahya

Dari aku

anak petani yang sudah sarjana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun