[caption id="attachment_349651" align="alignnone" width="624" caption="Sumber Gambar: inilah.com"][/caption]
Pernahkah terlintas di benak kita, untuk mengajukan sebuah pertanyaan; kenapa tiba-tiba KIH dan KMP langsung akur, tanpa ada lagi permusuhan diantara mereka. Dugaan saya tujuan mereka "akur" adalah untuk bersama-sama/berkonspirasi melumpuhkan KPK.
Ketiga oknum ini, Jokowi, Megawati, dan parlemen rupanya baru sadar, kalau KPK yang pernah dibentuknya, justru senjata yang juga akan menghujam sendiri jantung mereka. Di masa pemerintahan Megawatilah sesungguhnya lembaga anti rasuah ini dibentuk.
Walaupun kini yang memerintah adalah Jokowi, tetapi siapa yang tidak tahu, kalau Jokowi itu tidak lain anak buah Megawati yang dapat di-remote; terserah kemauan pemegang veto player PDI Perjuangan itu. Ini membukti dugaan dan kecurigan publik selama ini, kalau ternyata memang benar; Jokowi hanyalah "boneka kecil" Megawati.
Kata orang hebat, belajarlah dari pengalaman masa lalu. Pesan itu sudah pasti menjadi "pegangan" Megawati beserta dengan konco-konconya. KPK yang sedari dulu, kendati kelihatan belum tuntas dalam menangani kasus "century"Â namun karena tindakan KPK yang tidak tebang pilih "mentersangkakan" beberapa pejabat yang memiliki posisi strategis diantaranya menteri, DPR, ketua umum Partai, hingga ketua MK. Rupanya "ketakutan" ini sedang mendera juga beberapa elit PDIP. Jangan-jangan KPK akan kembali mengusut kasus BLBI, dan itu pasti membahayakan nama besar PDIP; karena nama Megawati Soekarno Putri juga masuk dalam kasus korupsi tersebut.
Itulah sebabnya Megawati yang memang memberi tiket tunggal hanya untuk Jokowi sebagai capres dalam kontestasi 2014 kemarin, mengobok-obok sang kepala negara. Wong situ memang dia punya kuasa atas segalanya.
Muncullah ide konspiratif dari belakang layar, Megawati memperdaya sampai pada memaksa Jokowi agar BG dijadikan calon tunggal Kapolri di pemerintahannya. Sebelumnya, publik juga perlu tahu; BG itu "kekasih gelap Megawati loh". Tahulah kalau sudah cinta, pasti apapun itu akan dilakukan; di samping juga mereka "berdua" punya impian; bersepakat tat kala menguasai Kapolri nantinya akan mengumpulkan "pundi'pundi" rupiah sebanyak-banyaknya; makin gendutlah rekeningnya.
Entah disengaja atau tidak oleh Megawati memasang calon tunggal Kapolri dari pasangan asmaranya. Apakah kesengajaan itu, untuk memancing KPK "mentersangkakan" BG, sehingga pada akhirnya KPK bisa dihancurkan melalui "tangan" Polri. Tapi kalau dugaan saya, rasa-rasanya tidak mungkin; mana mungkin orang yang sangat dicintainya mau dijadikan korban pesakitan.
Nasib ketimpa sial rupanya datang, dua hari sebelum diparipurnakan calon tunggal Kapolri BG. Secara kolektif kolegial, KPK rupanya menetapkan BG sebagai tersangka. Marahlah anak sang Proklamator kita.
Pikir-pikir Jokowi seharusnya menarik nama calon Kapolri tersebut, tetapi ternyata sang Presiden tidak melakukannya. Lagi-lagi ini pasti atas kendali Megawati, dengan mengatakan: tidak perlu ditarik nama itu. Biar BG disetujui oleh DPR.
Saya juga tidak tahu, kalau sebelum persetujuan paripurna Calon Kapolri BG itu, Megawati ada persetujuan dengan parlemen; baik dari KIH dan KMP minius Partai Demokrat, agar meneruskan mekanisme pengangkatan BG sebagai calon Kapolri. Tapi dugaan yang bisa kita tangkap "pasti ada pertemuan". Mungkin Megawati merasa dendam dengan KPK, gara-gara lelaki pujaannya dikorbankan. Dan pucuk dicinta ulang tiba, DPR memang juga sudah kapok dengan KPK jilid III ini, yah sepakat dengan senang hati saja meloloskan BG, biar konflik KPK dan Kapolri terus memanas.
Perang pun dimulai dari Polri, segala tetek-bengek komisiner KPK dicari-cari kesalahannya. Saya tidak tahu juga apakah Polri menyediakan "bayaran" bagi pihak-pihak yang memiliki "catatan buruk" untuk semua komisioner KPK, lalu mengajukan laporan untuk beberapa nama Komisoner KPK ke Kabareskrim Polri. Tapi yang pasti, semua catatan buruk itu hanya "dimanfaatkan" untuk Polri. Bukankah  hampir semua indikasi kejahatan yang disematkan kepada semua Komisiener KPK adalah kejahatan yang "tempus delicti-nya" sudah lama dan rata-rata bukan delik aduan. Mengapa dari dulu kasus tersebut, tidak diproses oleh Polri.
Lihat saja pada kasus yang menimpa BW; katanya sudah pernah dilaporkan tetapi dicabut laporannya. Polri ini apa tolol atau bagaimana? Bahwa Orang yang "terlibat" dalam mobilisasi "saksi palsu" itu bukan delik aduan, kok bisa pelaporannya dicabut. Apa ini polisi sudah gila, sudah bodoh, tidak tahu perbedaan delik aduan dan delik umum.
Satu hal catatan saya, kenapa teringgal satu partai, yakni Partai Demokrat tidak mendukung pencalonan BG di parlemen kemarin. Pembacaan atas kejadian ini, terlalu gampang untuk kita ketahui; Megawati tidak dapat "melobi" SBY karena diantara mereka belum bisa move on. Maka satu-satunya partai yang tidak menyatakan persetujuan untuk pencalonan BG hanya partai berlambang mercy ini.
"Semua" utusan partai di Parlemen, akhirnya sudah sadar, KPK adalah perusak citra mereka. Sudah repot-repot mempertahankan KPK. Memberinya adidaya kekuasaan yang melebihi, menyadap, mengambil kasus di kepolisian yang tak urung tuntas, termasuk dapat menangkap Polri.
Akhirnya mereka sadar-sesadarnya untuk mengakhiri "hidup" KPK. Biar parlemen nanti aman dari ciduk KPK. Biar menteri-menteri aman pula dari ciduk KPK. Termasuk Megawati dapat mengamankan kasus korupsi yang ditengarai juga melibatkan namanya.
Sebab kalau KPK jilid III sudah bubar, Presiden Jokowi dibawah kendali Megawati membentuk Perppu penyelematan KPK. Lalu dibentuk nantinya team pansel KPK, mereka bertiga ini: Jokowi, Megawati, Parlemen akan mencari penganti komisiner KPK yang bukan lagi KPK yang bisa menjadi "mimpi buruk" buat mereka bertiga.
Pun kalau KPK dibubarkan, mereka bisa berbahagia lagi. Itu namanya "durian runtuh". Biarkan Polri yang menjalankan dan melanjutkan semua kasus korupsi yang pernah ditangani oleh KPK. Dana APBN tidak perlu lagi dialirkan untuk KPK, tetapi bergeser ke Polri dan ke Kejaksaan.
Utang budi harus dibayar dengan budi. Budi Gunawan tak apalah kalau diganti dengan Budi Waseso. Kalau Polri sudah menjadi satu-satunya lembaga penegak hukum untuk kasus Korupsi. Berdamailah KIH, KMP, Megawati, Jokowi, para Koruptor dan calon-calon Koruptor, tak ada lagi musuh dalam selimut di pemerintahan ini.
Polri berutang budi pada Presiden, pada Megawati, pada Parlemen, tidak perlu Polri "mengusik" ketiga pihak ini. Damai Indonesiaku, Â hidup sentosalah koruptor dan calon-calon koruptor kita. Silahkan berterima kasih pada "tiga oknum" ini yang telah berkonspirasi untuk mengakhiri "sepak terjang" KPK.
activate javascript
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H