Belajar dari naluri alamiah burung gereja dan unggas pada umumnya, sepasang unggas ini baru bisa beranak-pinak kalau sudah punya sarang dari ranting dan rerumputan yang dirangkainya. Hewan itu bertelur, mengerami telurnya dan merawat anaknya hingga mampu hidup sendiri, tak lain di sarang itulah sepasang burung itu melakukannya. Betapa bahagianya burung-burung itu, sebahagia manusia ketika mendengar kicauannya. Tetapi apakah manusia pada umumnya sebahagia seperti burung-burung itu? Apakah mereka semua dapat melahirkan dan merawat anak-anaknya di dalam rumah yang layak huni? Apalah mau dikata apabila ternyata mereka tak sebahagia seperti halnya sepasang unggas itu. Padahal hewan itu tidak memiliki penguasa dan pemimpin politik, tapi toh juga mereka selalu hidup dalam damai. Kalau begitu bagaimana keadaannya dengan manusia yang mengaku memiliki peradaban dan memiliki pemimpin-pemimpin politik yang memiliki kewenangan manajerial untuk membawa masyarakatnya pada keadaan yang lebih baik.
Terus bagaimana pula nasib dari warga bangsa di penjuru pelosok negeri ini. Jangankan punya rumah sebelum berkeluarga, sudah punya anak pun masih banyak yang belum punya rumah, bahkan ada juga yang sudah punya cucu dan cicit pun belum pernah menikmati bagaimana rasanya memiliki rumah sendiri selayaknya orang mampu.
Mengutip kata pepatah "tak ada rotan akar pun jadi". Mungkin pepatah kuno itu telah membiak di kalangan masyarakat yang terdesak akibat tak punya tempat tuk berteduh. "Tak ada rumah kolong jembatanpun jadi", "emperan toko pun jadi", "trotoar pun bisa". Walaupun beralaskan tanah dan beratapkan langit juga bisa jadi alternatif. Itulah pilihan paling marginal dari segelintir anak manusia yang tak jelas nasib peruntungannya. Mereka jtergembalakan di muka bumi ini tanpa arah yang jelas.
Orang bijak pernah bilang, bahwa dalam hidup ini menjuntai serentetan pilihan. Saking bingungnya kaum berduit bingung untuk memilih yang mana, tentulah yang paling istimewa, yang paling wahid, dan tentunya yang paling jet-zet. Kemudian bagaimana pula dengan kaum marginal itu. Apakah mereka tak berhak untuk menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya, sembari mengulangi pepatah kuno itu, "tak ada rotan akar pun jadi". Kalau begitu adanya, ternyata kejamlah pula kehidupan ini bagi si miskin.
Realitas Sosial
Selain harga yang mahal, juga menjadi problem ditingkatan mereka yang punya rumah baik didesa maupun dalam kota dengan ancaman pengusuran rumah sewenag-wenang (Forced evietion). Hal ini tidak hanya dilakukan oleh aparatur negara, tapi juga dikukan oleh para pengusaha (Privat), contoh prusahaan dan etnik privatisasi lainnya.
Hal ini kalau kita kembali pada norma yang termaktub dalam undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Hak perumahan menjadi variabel penting, bahkan menjadi sebuah hak independen atau hak yang berdiri sendiri (indeoendent or frec standing tight). Dalam hal ini dijadikan barometer apakah orang yang hidup sudah menikmati standar hidup yang layak di sekelilingnya (the reght to adeguate standar of living).
Lebih lanjut lagi terhadap hak rakyat atas perumahan dalam hal ini rakyat dipersamakan yang dimaksud adalah perumahan yang memadai (adeguate housing). Kalau kita lebih perdalam lagi kajian tentang mamadai, hal ini tidak hanya berbentuk bagunan persegi empat saja kemudian punya atap, tetapi hal ini kalau kita mengacu pada standar rumah sehat tentu punya pintu, jendela, atau minimal punya fasilitas materil dan infrastuktur. Sebagai contoh standar nasionallah mesti yang diikuti.
Pada tahun 2002 yang lalu penduduk indonesia mencapi ±112 juta jiwa dan pada tahun 2005 mencapi ± 226 juta jiwa. Seperti yang dilaporkan Kementrian Koordinator Kesejahtraan Rakyat yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk berimplikasi pada kebutuhan permahan munculah masalah oleh sejumlah penduduk yang tidak mempunyai rumah yang layak dihuni atau boleh dikatakanhalal dijadikan mimpi. Kemudian angka kemiskinan pada tahun 2002 mencapi 37,7 orang dibawah garis kemiskinan, jadi dapat dipastikan lebih dari angka ini rakyat indonesia yang mendiami perumahan yang tidak layak untuk dihuni.
Penggusuran
Dalam kondisi seperti ini rakyat tidak saja menghadapi soal perumahan tapi juga di persoalakan masalah pengusuran yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan kekuatan aparat Negara. Disisi lain pengusuran juga dilakukan oleh oknum non pemerintah atau etnis privat yang mempunyai modal yang besar dengan mengunakan preman atau bahkan menyewa aparat yang nota bene digaji dari hasil pajak yang dibayar oleh rakyat tiap tahun. Kemudian kelas menegah menggerogoti tanah-yang secara tradisional di kuasai oleh penduduk asli dan penduduk kelas bawah sementara di pedesaan terjadi sertifikasi tanah yang telah menjadi alat penghacur budaya-budaya dari mayarakat adat (indigenous people)kemudian dilanjutkan lagi dengan kepemilikan kapital akan mengerogoti tanah dengan cara membeli tanah-tanah masyarakat. Akhirnya komunitas adat pun tersingkirkan dari tanah leluhurnya.
Sama halnya dengan kita makan bubur ayam panas di pagi hari. Proses penyantapan lahan di pedesaan dilkukan sedikit demi- sedikit akhirnya habis. Hal ini terjadi di beberapa kecamatan yang ada di kabupaten tolitoli
Dengan mengacu pada prinsip legal security df tenure. Sebagai prinsip yang sangat erat dengan pemenuhan hak rakyat. Secara eksplisit hal penikmatan dan pengakuan hak hukum atas kepemilikan sebagi prinsip yang harus dipenuhi seperti yang tercantum dalam General Cooment Komite No. 4
Untuk lebih yakin dengan persoalan yang melanda negri ini mari kita melihat di lingkungan sekitar kita, kalau orang-orang di sekeliling kita sudah punya rumah semua, maka hal ini pantas kita syukuri. Tapi tidak di jadikan sebuah pandangan bagi segelintir orang yang termarjinalkan atau orang yang terpinggirkan dinegri yang tercinta ini. Hal yang diatas merupakn hal yang sangat berat untuk dilakukan bagi mereka yang tertindas padahal ini merupakan tangung jawab negara untuk memberikan kesejahteran bagi mereka yang termarjinalkan seperti yang termaktub dalam konstitusi negara kita UUD 1945; Pasal 27 ayat (2) bahwa negara menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan perumahan yang layak. Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI