Mohon tunggu...
Moh Rifai M Hadi
Moh Rifai M Hadi Mohon Tunggu... -

Hanya Manusia Biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petualangan Yang Penuh Kesialan

1 September 2012   10:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:03 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu, pada tanggal 14 Mei 2012, saya salah satu menjadi peserta dalam kegiatan seminar “Ekonomi Politik Pertambangan di Sulawesi Tengah,” yang dilaksanakan oleh YTM, JATAM dan Walhi, di gedung Golni - Palu.

Setelah kegiatan itu selesai, tiba-tiba ada seorang pengacara kondang yang datang menghampiriku, yang saat itu saya masih fokus dalam diskusi lanjutan setelah seminar. Dia hendak mengajakku untuk menemaninya pergi jauh keluar kota Palu.

Dia berjenggot, tingginya kurang lebih 160 cm, dan berambut gondrong. Katanya gondrong adalah tanda perlawanan. Namanya Syahruddin Ariestal Douw SH, namun kami biasa memanggilnya Bung Etal. Selain berambut gondrong, ia juga hitam, (hitam manis), jenius, dan cerdas. Maka tak heran kami menjulukinya sebagai “Guru”, atau dalam bahasa arabnya disebut “Suhu.”

“Kau temani saya ke Poso, untuk menghadiri Sidang dalam putusan terhadap Polres Poso atas gugatan yang dilayangkan oleh Jatam Sulteng.” Kata bung Etal, sambil mengambil sebatang rokok Marlboro putih dari dalam kantong baju kemejanya yang berwarna hitam berkotak-kotak putih.

“Kapan kita berangkat bung? Berapa lama kita disana?” balasku, dengan mata yang sayup-sayup tak bergairah, karena tadi malam tidurku hanya 120 menit.

“Sekarang ini, tapi kita mampir ke kantor Jatam terlebih dahulu. Karena ada beberapa perlengkapan yang harus diambil.” Tambah Etal.

Sekitar pukul 17.30 kami meninggalkan kota Palu, yang sebelumnya masih berkeliling dalam kota itu, dengan tujuan mencari agen mobil. Karena ada bingkisan berwarna kecoklatan, entah isinya apa. Bingkisan itu hendak dikirim ke Luwuk, dengan sasaran kesalah satu teman akrab dari Bung Etal. Namanya Bung Andika. Bung Andika juga orang cerdas, baik, dan tampan pula. Namun sebentar lagi ia akan meninggalkan masa lajangnya. Beliau akan Maried dengan salah satu putri tercantik di Kabupaten Luwuk.

Di puncak kebun kopi, perbatasan antara kabupaten Donggala dan Parimo. Kami istirahat sejenak untuk melepaskan kepenatan dan pedisnya pantat yang senantiasa menempel di sadel motor kesayangan bung Etal. Di warung makan itu, “Mas dua kopi susu,” kata bung Etal kepada pelayan, di warung itu.

Kami duduk diteras paling belakang, kebetulan saat itu, hanya kami berdua yang mengisi dari sekian banyak kursi yang tersedia. Warung nya cukup bersih, meja-kursi juga bersih, dan berjejer rapi.

Dalam kesempatan itu, kami menyempatkan untuk berdiskusi yang sama sekali tidak memiliki tema tertentu. Bung Etal mulai mengungkit pembahasan mengenai seminar tadi pagi hingga sore hari. Kemudian ia lanjutkan visi nya kedepan, hingga berbuntut pada curhatan nya. Dalam curhat nya Bung Etal memperlihatkan wajah  kesedihan, dibalut sedemikian rupa hingga memunculkan jidat yang mengkerut. Ia bercerita mengenai pacarnya yang sangat ia cintai telah diambil orang lain.

“Dia sudah married, saat ia sedang pacaran dengan ku. Dia satu-satunya dari sekian banyak pacarku yang sangat saya cintai.” Kata Bung Etal, dengan hati yang sedih, memunculkan muka keputusasaan, seakan-akan ingin meloncat dari teras itu, yang tingginya sekitar 10 meter kebawah.

“Tapi sekarang ia sudah cerai dengan suaminya, dan hal ini yang membuatku tak tertidur semalam, hanya untuk memikirkannya. Apakah saya menjadi suaminya kelak? Jika betul saya akan menjadi suaminya, mengapa saya mendapat nasib seperti itu?” lanjutnya.

Saya sangat menyimak curhat dari bung Etal, namun saya tidak sempat menanyakan siapa nama mantan pacarnya itu.

Kami baru sadar ketika bung Etal menanyakan, “jam berapa?” kepadaku.

“Kita harus bergegas untuk berangkat, karena jarak tempuh masih jauh.” Singgung Etal.

Cacing-cacing dalam perut mulai memberontak, mereka menari seperti penari balet, namun sangat lincah. Saat itulah Bung Etal langsung banting stir motor, hendak berbelok ke salah satu rumah makan di Sausu.

“kita makan dulu, nih perut sudah keroncongan dari tadi.” Kata bung Etal.

Di pintu masuk warung itu, ada sesosok wanita cantik berambut pendek, imut, dan manis. Wanita itu melemparkan senyuman manis kepada kami yang saat itu sangat lelah. Kulihat mukanya yang manis itu seolah-oleh mengatakan “selamat datang.”

Di sudut paling kiri warung makan, terdapat sebuah televisi berukuran 14 Inci. Terlihat di dalam televisi itu sekelompok Dance yang sedang beraksi di panggung, untuk menunjukkan kemampuan mereka kepada penonton, termasuk kami berdua.

“aahh..! ganti itu, sangat tidak berbobot.”ungkap bung Etal sambil tersenyum kepadaku.

Ternyata di Metro TV, ada acara diskusi mengenai “Imperium Ekonomi Islam.” Dalam diskusi itu akan merumuskan bagaimana Islam dapat mensejahterakan ummat di dunia, “itu intinya.” Namun, kami tidak menyimaknya hingga selesai. Bung Etal hanya membagi pengalamannya mengenai “dunia pergerakan.”

Disisi kanan ku, terlihat lukisan burung Dora berjejer empat berwarna-warni. Sangat cantik, duduk diatas dahan yang daunnya berwarna putih. Pandangan burung itu satu arah, seakan-akan melihat induknya terbang hendak mencari makanan untuk makan malam mereka. Disamping lukisan burung Dora itu, ada juga lukisan kucing berbulu putih bersih tanpa ada warna lain, matanya berwarna kuning dan ditengah-tengahnya berwarna hitam. Matanya yang tajam itu, senantiasa menatapku tanpa berkedip, seolah-olah ingin mengatakan “hai..kenalan donk..!!” jika melihat kebelakang, dalam bingkai terlihat gambar Kabbah yang dikelilingi oleh jutaan Ummat Islam di Mekkah. Dengan latar belakang gedung-gedung berwarna emas mengkilap. Disamping gambar itu, ada seorang anak berusia sekitar empat tahun. Ia berdiri tegak tanpa bergerak, seperti monumen Jenderal Sudirman.

Tujuh belas meja makan tersedia diruangan ini, kira-kira lebar meja itu sekitar 1 x 2 meter.

Jam dua belas lewat satu menit kami melanjutkan perjalanan, dengan kondisi badan yang semakin lelah, menggigil kedinginan seakan-akan berada di benua Eropa. Eropa yang dibanggakan oleh setiap orang untuk mendatanginya, sebagai upaya untuk merefresh otak yang semakin tertekan. Namun, keringat kami bercucuran ketika ban motor kami bocor alias tidak memiliki angin. Hingga kami menariknya sekitar 2 km.

“Sial apa kita malam ini, sampai-sampai menarik motor seperti ini? Apakah hal ini menandakan kekalahan pra gugatan kita?” Kata bung Etal.

Saya hanya berjalan sambil memegang belakang motor itu, dan tersenyum melihat bung Etal berjalan dengan mengimbangi motor kesayangannya.

Bertuliskan pada sebuah Ban yang begitu bulat dan besar, “Pres Ban  dalam” terlihat dari kejauhan di bawah lampu sorot yang begitu terang. Kami berusaha membangunkan pemilik bengkel itu, untuk memuluskan perjalanan kami hingga tujuan. Mungkin dia masih asyik bermimpi tentang seorang kekasih nya yang sangat dicintai nya, ataukah ia bermimpi di suatu taman bunga dengan berbagai jenis bunga terdapat di taman itu, sehingga ia enggan untuk meninggalkan dan bangun dari tidur nya, pikirku. Akhirnya pemilik bengkel itu bangun dari mimpi panjang nya, setelah kami berusaha berteriak dengan suara khas kami.

Ban dalam dari motor kesayangan bung Etal itu di ganti, sebab alasan dari si tukang bengkel adalah tidak mempunyai Spritus, yang digunakan menjadi bahan bakar.

Kami melanjutkan perjalanan, yang di halangi oleh beberapa ekor Anjing yang suka berkeliaran di jalan. Namun, nasib naas lagi yang kami dapatkan. Sang penerang jalan, yang setia menemani kami hingga maghrib tadi, kini telah tiada. Ia sudah tidak membantu mata kami untuk melihat lubang-lubang di jalan berwarna hitam itu. Sehingga memaksa sang gondrong untuk melaju ketika mobil bersedia membantu kami dari arah belakang walaupun hanya beberapa detik saja. Sepanjang 32 km kami berjuang tanpa alat penerang di motor itu.

“Saya mengantuk, tolong kau lagi yang setir motor kesayanganku ini.” Kata bung Etal, sambil berhenti berlahan-lahan dan mengalihkan sebuah Tas berwarna hitam, ber-bis merah.

Entah setan dari mana yang merasuki pikiran ku saat itu, ketika saya yang mengendalikan motor kesayangan bung Etal. Saat merasa helm ku dan helm bung Etal saling bersentuhan. Padahal saat itu Anjing yang nakal, lubang yang sering mencelakai pengendara di jalan itu juga tidak ada. Saya mengerem motor hingga berhenti, dengan niat untuk membuka mata bung Etal yang sedang sayup-sayup hendak menghilangkan pikiran dunia. Saya tersenyum, karena berhasil mengerjain orang yang paling menginpirasi saya sejak dulu.

“ahh.!! So tidak beres kau ini, waktu saya terbangun kaget dan melototkan mata, saya tidak melihat lubang dijalan, namun mengapa kau rem mati?” kata bung Etal sambil tertawa karena ia tahu bahwa ia dikerjain olehku.

Saya hanya terdiam, sehingga saya berhenti ketika mendengar suara, “sini saya saja yang menyetir motor, kalau memang kau tidak ikhlas bawa motor kesayangan ku ini.”

Saat kulihat momok muka bung Etal, seakan-akan ingin membalas tingkah usilku tadi. Kami tetap melanjutkan ekspedisi ini, hingga pukul 02.52 kami tiba di LBH Poso.

Kantor nya lumayan besar, ada empat kamar, 1 ruang rapat, dan satu ruang tamu. Terdapat juga sebuah lemari di ruang rapat itu, berisikan sejumlah buku-buku Hukum. Disamping lemari itu terdapat sebuah meja dan Dispenser. Sedangkan, didepan lemari terdapat meja dan beberapa kursi. Saya duduk di salah satu kursi itu, hingga pagi. Entah apa yang ku pikirkan pagi itu, saya hanya menghidupkan Televisi disudut ruangan rapat itu. Yang menyiarkan satu berita kerusuhan antar warga di Ambon. Saya melihat satu kursi empuk di depan televisi, “cocok untuk tidur,” pikirku.

Kemudian saya menyandarkan seluruh badan dan menyaksikan tayangan-tayangan berbagai macam iklan setelah berita. Maka, hilanglah pikiran saya. Mataku tertutup hingga 150 menit, dan terbuka setelah bung Etal berteriak memanggilku hendak menyuruh untuk mandi, yang saat itu bung Etal sedang mengusap-usapkan handuk di kepalanya.

Kami tiba di pengadilan Negeri Poso beberapa menit kemudian, setelah mandi dan merapikan baju kemeja kesayangan kami. Dibelakang gedung pengadilan itu ada sebuah warung yang menyediakan berbagai aneka ragam minuman dan makanan. Kami sejenak minum kopi bersama para pengacara lainnya yang menunggu klien nya di sidang nanti.

Di depan pohon warung itu ada sepohon belimbing yang sedang dikerumuni oleh burung-burung kecil nan cantik, mereka bermain dan berteriak-teriak hingga menganggu kami saat diskusi. Dibawah pohon belimbing itu, ada sebuah mobil bermerk Daihatsu, berwarna agak kecoklatan. Namun warnanya sudah hampir hilang di telan oleh panas dan hujan. Di depan duduk sang sopir terlihat dua boneka kuning yang saling bertatapan sambil mengangkat tangan seakan merayakan kemenangan. Kulihat pula disamping kiriku, seorang ibu berpakaian PNS sedang asyik membaca koran berita hari ini. Beberapa menit kemudian, sidang pembacaan putusan oleh Hakim dimulai. Hanya beberapa orang dalam ruang sidang itu.

Setelah sidang selesai, kami melanjutkan diskusi di warung tadi, dengan tambahan pengacara lain yang siap mengadu replik dan duplik. Entah seorang pengacara dari mana, rambut nya sudah mulai memutih, kulitnya mulai keriput menandakan ia sudah tua. Tiba-tiba datang dan menjabat tangan kami satu persatu saat itu. Beliau lucu, asyik jadi teman diskusi. Dia berhasil mencairkan suasana yang serius saat itu.

Kami telah keluar dari halaman gedung Pengadilan, kami bergegas pulang untuk menghadiri diskusi di gedung sebelum kami berangkat kemarin. Hingga pukul 12.30 bung Etal melirik salah satu rumah makan bernama “rumah makan Makassar,” yahh..!! kayaknya perutnya sudah mulai memberontak setelah 6 jam tidak makan, begitu pun dengan ku.

Sekitar 3 meter dari lantai warung itu ada sebuah televisi, yang menampilkan sinetron andalan bung Etal dengan judul ada cinta di kampung Kambing.

“itu fiksi namun menarik untuk di saksikan,” kata bung Etal.

Di belakang saya ada sepasang pria dan wanita yang sedang bermesraan.Kebetulan Bung Etal berada di depannya. Melirik kedua mahkluk itu dengan ekor matanya, seakan-akan ingin berbuat seperti itu. Bung Etal tersenyum tersipu-sipu saat melihat sinetron tadi, yang juga saling bermesraan dan berpelukan. Ia masih tersenyum dan tidak mengedipkan mata hingga memaksakan kakinya untuk melangkah lebih dekat kearah televisi itu.

Yahh..!!! lagi-lagi kami melanjutkan perjalanan setelah mampir sejenak. Di depan sana ada juga pengacara yang menanti kami. Mereka juga mewakili klien nya di pengadilan Parigi.

Kami berempat, dengan satu tujuan ke Palu saat itu. Juga mampir di warung yang sama di puncak kebun kopi saat sebelum saya dan bung Etal. Di warung itu kami minum kopi, diskusi dan berfoto-foto. Hingga pukul 07.17 kami tiba di Kota Palu

Itulah perjalanan yang mengesankan bagiku bersama pengacara Gondrong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun