Mohon tunggu...
H_rist
H_rist Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

basket, membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Omar AL-Bashir

10 Januari 2025   11:24 Diperbarui: 10 Januari 2025   11:24 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto mantan Presiden Sudan (Omar AL-Bashir) sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Omar_al-Bashir

"ICC" adalah pengadilan pidana internasional pertama yang permanen dan independen (dalam arti tidak berada di bawah sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa/ "PBB")".

Seorang pemimpin negara adalah individu yang merupakan subjek hukum internasional dan berhak dimintakan pertanggung jawaban atas kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Omar Al-Bashir, mantan Presiden Sudan, menjadi simbol pengujian keberanian dan konsistensi hukum internasional, terutama terkait yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) berdasarkan Pasal 13(b) Statuta Roma. Pasal ini memberikan Dewan Keamanan PBB wewenang untuk merujuk situasi ke ICC, bahkan jika negara tersebut bukan pihak dalam Statuta Roma. Dalam kasus Al-Bashir, Pasal 13(b) memainkan peran penting dalam upaya internasional untuk mengadili seorang kepala negara yang dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.

Latar Belakang Kasus Al-Bashir

Konflik di Darfur, yang pecah pada tahun 2003, merupakan salah satu tragedi kemanusiaan paling memilukan dalam sejarah modern. Rezim Omar Al-Bashir dituduh mendukung milisi Janjaweed yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengungsian jutaan warga sipil. Pada tahun 2009 dan 2010, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Al-Bashir atas tuduhan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.

Namun, Sudan bukanlah negara pihak dalam Statuta Roma. Yurisdiksi ICC dalam kasus ini didasarkan pada Pasal 13(b), yang memungkinkan Dewan Keamanan PBB merujuk situasi di Darfur ke ICC melalui Resolusi 1593 tahun 2005. Langkah ini menciptakan preseden penting: seorang pemimpin negara yang memiliki hak imunitas di negaranya dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional atau ICC.

Pasal 13(b) dan Keadilan Internasional

Pasal 13(b) adalah salah satu alat paling kuat dalam Statuta Roma untuk menjangkau pelaku kejahatan di negara-negara yang bukan anggota ICC. Dalam konteks Al-Bashir, peran Dewan Keamanan sangat penting untuk memastikan bahwa pelaku pelanggaran berat tidak dapat berlindung di balik kedaulatan negara. Namun, penerapan pasal ini juga mengungkap sejumlah tantangan mendasar:

1. Politik Dewan Keamanan

Yurisdiksi ICC atas kasus Al-Bashir bergantung pada keputusan Dewan Keamanan PBB, di mana kepentingan politik sering kali mendominasi. Resolusi 1593, misalnya, disahkan dengan beberapa abstain, termasuk dari Amerika Serikat, China, dan Rusia. Hal ini menunjukkan kurangnya konsensus global tentang pentingnya akuntabilitas universal.

2. Imunitas Kepala Negara

Kasus Al-Bashir menantang konsep imunitas kepala negara yang sering digunakan untuk melindungi pemimpin dari penuntutan internasional. ICC menegaskan bahwa imunitas tidak berlaku untuk kejahatan internasional berat. Namun, beberapa negara, termasuk Afrika Selatan, menolak menangkap Al-Bashir saat ia berkunjung, dengan alasan konflik antara kewajiban domestik dan komitmen internasional.

3. Pelaksanaan Mandat ICC

Meskipun ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan, Al-Bashir tetap bebas bepergian ke beberapa negara Afrika dan Timur Tengah. Hal ini menyoroti keterbatasan ICC dalam menegakkan mandatnya tanpa dukungan penuh dari komunitas internasional.

Dampak dan Implikasi

Kasus Al-Bashir memberikan pelajaran penting tentang upaya menegakkan keadilan internasional di tengah tantangan geopolitik. Penggunaan Pasal 13(b) menciptakan harapan bagi para korban konflik Darfur bahwa pelaku kejahatan berat tidak akan lolos dari hukuman. Namun, resistensi politik dan ketidaksepakatan tentang yurisdiksi ICC menunjukkan bahwa keadilan internasional sering kali menjadi arena tarik-menarik kepentingan negara.

Lebih jauh, kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang perlakuan yang tidak setara terhadap pelaku kejahatan internasional. Banyak yang menuduh Dewan Keamanan bersikap selektif dalam merujuk kasus ke ICC, dengan fokus yang tidak proporsional pada negara-negara berkembang, terutama di Afrika. Hal ini memperburuk persepsi bahwa keadilan internasional lebih melayani agenda politik negara-negara besar daripada prinsip universal.

Harapan untuk Kedepanya

Kasus Omar Al-Bashir menyoroti perlunya reformasi dalam sistem keadilan internasional. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan efektivitas Pasal 13(b) dan ICC antara lain:

  • Meningkatkan Dukungan Global, Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia, perlu menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap keadilan internasional. Dukungan mereka terhadap ICC dapat memperkuat legitimasi dan efektivitas lembaga ini.
  • Memperkuat Kerja Sama Regional, Organisasi regional seperti Uni Afrika, dapat memainkan peran penting dalam memastikan bahwa negara-negara anggotanya mematuhi mandat ICC. Kerja sama ini juga dapat mengurangi persepsi bias terhadap Afrika.

Mendorong Akuntabilitas Lokal, ICC adalah mekanisme penting yang menjadi penguat sistem hukum domestik di negara-negara yang terdampak konflik menjadi langkah jangka panjang yang perlu didukung. Akuntabilitas lokal dapat melengkapi peran ICC dalam memastikan keadilan bagi para korban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun