Di satu sudut Jakarta, seorang eksekutif muda menyeruput kopi seharga Rp75.000 sambil mendiskusikan investasi saham yang menguntungkan. Tidak jauh dari situ, seorang penjual gorengan di pinggir jalan menanti pembeli, berharap keuntungan hari itu cukup untuk membeli beras. Dua dunia ini hidup berdampingan di tanah yang sama, tetapi hampir tidak pernah bersinggungan. Begitulah potret ketimpangan ekonomi di Indonesia---dua realitas yang berjalan paralel, namun terasa seperti berada di planet yang berbeda.
Narasi Pertumbuhan: Mitos atau Kenyataan?
Selama bertahun-tahun, Indonesia membanggakan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5% per tahun. Gedung-gedung pencakar langit terus bermunculan, jalan tol diperpanjang, dan perusahaan teknologi unicorn menghiasi berita. Tapi pertanyaan yang jarang diajukan adalah: Siapa yang benar-benar menikmati semua ini?
Data menunjukkan bahwa sebagian besar kekayaan nasional terkonsentrasi pada kelompok kecil. Bahkan, 1% populasi terkaya menguasai hampir setengah dari kekayaan di negara ini. Di sisi lain, puluhan juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan harian yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bagi mereka, narasi pertumbuhan ekonomi itu terdengar seperti dongeng yang tidak pernah menyentuh kenyataan hidup mereka.
Ketimpangan yang Melekat: Mengapa Sulit Diubah?
Ketimpangan ekonomi di Indonesia bukan sekadar akibat dari kemalasan atau keberuntungan, melainkan hasil dari sistem yang selama puluhan tahun memihak kepada yang berkuasa dan bermodal besar. Beberapa faktor yang memperparah situasi ini adalah:
Pembangunan yang Terpusat
Sejak era Orde Baru, pembangunan infrastruktur dan ekonomi cenderung terfokus di Pulau Jawa. Akibatnya, daerah-daerah di luar Jawa, terutama kawasan timur Indonesia, sering kali tertinggal. Di kota-kota seperti Jakarta atau Surabaya, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja melimpah. Sebaliknya, di daerah terpencil, listrik saja masih menjadi kemewahan.Sistem Pendidikan yang Eksklusif
Pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan, tetapi sistem pendidikan di Indonesia sering kali lebih berpihak kepada yang mampu. Sekolah berkualitas cenderung mahal, sementara sekolah gratis sering kekurangan fasilitas dan guru berkualitas. Generasi muda dari keluarga miskin pun sulit bersaing di dunia kerja modern.Lingkaran Ketergantungan
Banyak masyarakat miskin terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang sulit diputus. Misalnya, petani kecil yang terjerat utang rentenir atau buruh yang terjebak pada pekerjaan dengan upah rendah tanpa peluang untuk meningkatkan keterampilan.
Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu
Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan jurang ekonomi, tetapi juga jurang sosial dan psikologis. Orang-orang kaya sering kali hidup di dunia eksklusif mereka sendiri, jauh dari realitas kehidupan kelas bawah. Mereka tinggal di apartemen mewah dengan keamanan ketat, berbelanja di pusat perbelanjaan premium, dan berlibur ke luar negeri.