Mohon tunggu...
Atep Fauzi
Atep Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ketimpangan Ekonomi di Indonesia : Ketika Dua Dunia Bertabrakan

5 Desember 2024   08:59 Diperbarui: 5 Desember 2024   09:29 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di satu sudut Jakarta, seorang eksekutif muda menyeruput kopi seharga Rp75.000 sambil mendiskusikan investasi saham yang menguntungkan. Tidak jauh dari situ, seorang penjual gorengan di pinggir jalan menanti pembeli, berharap keuntungan hari itu cukup untuk membeli beras. Dua dunia ini hidup berdampingan di tanah yang sama, tetapi hampir tidak pernah bersinggungan. Begitulah potret ketimpangan ekonomi di Indonesia---dua realitas yang berjalan paralel, namun terasa seperti berada di planet yang berbeda.

Narasi Pertumbuhan: Mitos atau Kenyataan?

Selama bertahun-tahun, Indonesia membanggakan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5% per tahun. Gedung-gedung pencakar langit terus bermunculan, jalan tol diperpanjang, dan perusahaan teknologi unicorn menghiasi berita. Tapi pertanyaan yang jarang diajukan adalah: Siapa yang benar-benar menikmati semua ini?

Data menunjukkan bahwa sebagian besar kekayaan nasional terkonsentrasi pada kelompok kecil. Bahkan, 1% populasi terkaya menguasai hampir setengah dari kekayaan di negara ini. Di sisi lain, puluhan juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan harian yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bagi mereka, narasi pertumbuhan ekonomi itu terdengar seperti dongeng yang tidak pernah menyentuh kenyataan hidup mereka.

Ketimpangan yang Melekat: Mengapa Sulit Diubah?

Ketimpangan ekonomi di Indonesia bukan sekadar akibat dari kemalasan atau keberuntungan, melainkan hasil dari sistem yang selama puluhan tahun memihak kepada yang berkuasa dan bermodal besar. Beberapa faktor yang memperparah situasi ini adalah:

  1. Pembangunan yang Terpusat
    Sejak era Orde Baru, pembangunan infrastruktur dan ekonomi cenderung terfokus di Pulau Jawa. Akibatnya, daerah-daerah di luar Jawa, terutama kawasan timur Indonesia, sering kali tertinggal. Di kota-kota seperti Jakarta atau Surabaya, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja melimpah. Sebaliknya, di daerah terpencil, listrik saja masih menjadi kemewahan.

  2. Sistem Pendidikan yang Eksklusif
    Pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan, tetapi sistem pendidikan di Indonesia sering kali lebih berpihak kepada yang mampu. Sekolah berkualitas cenderung mahal, sementara sekolah gratis sering kekurangan fasilitas dan guru berkualitas. Generasi muda dari keluarga miskin pun sulit bersaing di dunia kerja modern.

  3. Lingkaran Ketergantungan
    Banyak masyarakat miskin terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang sulit diputus. Misalnya, petani kecil yang terjerat utang rentenir atau buruh yang terjebak pada pekerjaan dengan upah rendah tanpa peluang untuk meningkatkan keterampilan.

Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu

Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan jurang ekonomi, tetapi juga jurang sosial dan psikologis. Orang-orang kaya sering kali hidup di dunia eksklusif mereka sendiri, jauh dari realitas kehidupan kelas bawah. Mereka tinggal di apartemen mewah dengan keamanan ketat, berbelanja di pusat perbelanjaan premium, dan berlibur ke luar negeri.

Sebaliknya, kelas pekerja atau masyarakat miskin berjuang di dunia yang penuh ketidakpastian. Mereka terjebak dalam kemacetan, mengantri untuk layanan kesehatan yang minim, atau bahkan kehilangan pekerjaan karena otomatisasi yang semakin meluas.

Ketimpangan ini menciptakan polarisasi yang berbahaya. Di satu sisi, muncul kelompok yang merasa nyaman dan puas dengan status quo. Di sisi lain, ada kelompok yang frustrasi, merasa diabaikan, dan kehilangan harapan. Polarisasi ini adalah bom waktu yang, jika tidak diatasi, dapat meledak dalam bentuk konflik sosial atau ketidakstabilan politik.

Dari Polarisasi Menuju Integrasi: Harapan di Tengah Ketimpangan

Namun, situasi ini tidak sepenuhnya tanpa harapan. Indonesia memiliki peluang besar untuk memperbaiki kondisi ini jika semua pihak mau mengambil peran. Berikut adalah beberapa pendekatan unik untuk menjembatani jurang ini:

  1. Redistribusi Berbasis Teknologi
    Teknologi dapat menjadi alat untuk mendistribusikan kekayaan dengan lebih adil. Platform digital dapat membantu petani memotong peran tengkulak, memungkinkan mereka mendapatkan harga yang lebih baik. E-wallet dan pinjaman mikro berbasis aplikasi dapat memberikan akses keuangan kepada masyarakat miskin tanpa harus bergantung pada rentenir.

  2. Inklusi Budaya dalam Ekonomi
    Banyak daerah di Indonesia memiliki potensi budaya dan pariwisata yang belum tergarap. Jika dikembangkan dengan baik, ini dapat membuka lapangan kerja lokal. Misalnya, menghidupkan kembali kerajinan tradisional dengan bantuan desain modern atau menciptakan desa wisata berbasis komunitas.

  3. Pendidikan Kreatif untuk Semua
    Pendidikan formal penting, tetapi pendidikan kreatif juga dapat membuka peluang baru. Program-program seperti pelatihan keterampilan berbasis digital, seni, atau kewirausahaan dapat membantu masyarakat miskin menciptakan peluang mereka sendiri.

  4. Revolusi Kesadaran Sosial
    Salah satu langkah paling mendasar adalah membangun kesadaran di kalangan orang kaya tentang pentingnya inklusivitas ekonomi. Jika kelompok elite memahami bahwa stabilitas sosial adalah kunci keberlanjutan bisnis mereka, mereka mungkin lebih termotivasi untuk mendukung kebijakan redistribusi yang adil.

Menutup Jurang: Sebuah Tugas Kolektif

Ketimpangan ekonomi adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan hanya dengan satu kebijakan atau satu generasi. Tetapi tugas ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Sektor swasta, masyarakat sipil, dan individu memiliki peran penting dalam menciptakan sistem yang lebih inklusif.

Indonesia bukan hanya tentang gedung pencakar langit atau sawah yang menghampar. Ia adalah tentang bagaimana semua orang, dari segala latar belakang, dapat bermimpi dan mewujudkan mimpi itu. Mungkin kita tidak bisa menghapus ketimpangan sepenuhnya, tetapi kita bisa memastikan bahwa dua dunia ini saling bertemu---bukan untuk bertabrakan, tetapi untuk berjalan bersama.

Hanya dengan itu, Indonesia benar-benar bisa menjadi rumah yang adil dan sejahtera bagi semua warganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun