Mohon tunggu...
Siti Fatimatuz Zahro
Siti Fatimatuz Zahro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Qur'an dan Tafsir STAI AL Anwar Sarang Rembang

Hai, namaku Feti, aku adalah manusia yang masih haus akan ilmu dan aku akan selalu menggali demi masa depanku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi Makin Nyata, Vonis Makin Sederhana

5 November 2024   14:13 Diperbarui: 5 November 2024   14:13 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumlah kasus korupsi semakin meningkat setiap tahunnya. Hukuman menjadi semakin ala kadarnya.

Pada masa pemerintahan akhir-akhir ini, para koruptor semakin dimanjakan. Mereka semakin banyak beroperasi menggunakan uang negara. Bahkan setelah dia ditangkap, hukumannya ringan. Menurut laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), pada tahun 2023 rata-rata hukuman bagi 1.718 terdakwa korupsi adalah tiga tahun empat bulan penjara.

Denda untuk para koruptor juga rendah, Indonesia Corruption Watch  menghitung rata-rata denda untuk koruptor hanya Rp 180 juta. Sebanyak 48 koruptor bebas dan 11 terdakwa lepas  karena jaksa salah menerapkan tuntutan. Padahal nilai uang yang terbukti korupsi pada 2023 mencapai Rp 28,4 triliun dan tahun lalu Rp 42,7 triliun.

Topik denda sungguh menyedihkan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya memberikan ancaman denda paling banyak Rp 1 miliar, berapapun jumlah korupsinya. Saat ini, hukuman penjara berkisar dari satu tahun penjara hingga hukuman mati. Pemberantasan korupsi tidak mempunyai efek jera karena lemahnya undang-undang dan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman ringan.

Jumlah kasus korupsi meningkat dari 271 kasus pada tahun 2019 menjadi 791 kasus pada tahun 2023, yang berarti peningkatan rata-rata kasus korupsi sebesar 22%.

Selain kerugian denda negara yang sangat besar, biaya pemrosesan perkara korupsi mulai dari penyidikan hingga penyidikan juga tidak sedikit. Kejaksaan Agung mengeluarkan biaya sebesar Rp 200 juta untuk memproses suatu perkara, sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi rata-rata mengeluarkan biaya sebesar Rp 1 miliar per perkara. Sebab, jika tahun lalu ada 791 kasus, KPK akan mengeluarkan dana sebesar Rp 791 miliar untuk memberantas korupsi. Mengingat angka-angka tersebut, tidak mengherankan jika Indeks Persepsi Korupsi Indonesia turun ke posisi 115 dari 110 tahun sebelumnya.

 Pemberantasan korupsi tidak efektif membuat kapok dan tidak efisien karena jumlah pengembalian uang kerugian negara jauh lebih kecil dibanding biayanya.

Meski begitu, bukan berarti kita menyerah memberantas korupsi. Pangkal persoalan korupsi adalah aturan dan kewenangan lembaga yang menanganinya  dipangkas. Presiden Jokowi  merevisi Undang-Undang KPK sehingga lembaga ini tidak lagi independen memberantas korupsi. Dengan di bawah presiden, KPK jadi politis dan tebang pilih menangani perkara korupsi.

Kejaksaan dan kepolisian_ dua lembaga yang sejak dulu tak bisa diharapkan memberantas korupsi sehingga KPK dibentuk, malah ucap diberitakan memberantas memain-mainkan perkara. Teror polisi terhadap Kejaksaan Agung yang sedang menangani korupsi timah menunjukkan aparat penegak hukum tak kompak dalam memberantas korupsi.

Akibatnya, para politikus -profesi paling banyak menjadi terdakwa- merapat pada penguasa agar selamat setelah melakukan korupsi. Lembaga penegak hukum umumnya secara aktif menargetkan korupsi di kalangan orang-orang yang jauh dari kekuasaan. Tak heran jika masyarakat merasa korupsi semakin nyata. Indeks perilaku antikorupsi Badan Pusat Statistik turun dari 3,9 menjadi 3,8 pada skala 1 hingga 5.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun