Mohon tunggu...
Anggia Kia Karisa
Anggia Kia Karisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Malang, prodi Ilmu Komunikasi

Hai Kompasianer! 👋 Perkenalkan, saya Anggia Kia Karisa, kerap disapa Anggia atau Kia seorang mahasiswa baru Ilmu Komunikasi semester 1 di Universitas Negeri Malang (UM) yang punya segudang rasa ingin tahu tentang dunia komunikasi, khususnya media digital. Dunia yang serba cepat dan dinamis ini bikin saya tertarik untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Di luar kegiatan perkuliahan, saya suka banget eksplorasi hal-hal baru, mulai dari dunia kuliner lewat hobi memasak, menyelami berbagai genre musik, sampai menuangkan ide dan imajinasi lewat tulisan. Meskipun masih newbie di dunia kepenulisan, saya selalu berusaha untuk terus belajar dan mengasah kemampuan menulis saya. Bicara soal kepribadian, teman-teman sering bilang saya orangnya supel, mudah bergaul, dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Saya juga senang berdiskusi dan bertukar pikiran, apalagi tentang isu-isu terkini seputar komunikasi dan media. Semoga dengan bergabung di Kompasiana, saya bisa belajar banyak dari Kompasianer senior, berbagi pengalaman dan wawasan, serta berkontribusi aktif di platform ini. Salam kenal semuanya! 😊

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Robot Menjadi Manusia, Eksistensi dan Otentitas di Era AI

16 Oktober 2024   20:35 Diperbarui: 16 Oktober 2024   20:41 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

Di ambang revolusi teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya,  kecerdasan buatan (AI)  kian merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan manusia.  Mesin-mesin cerdas tidak lagi sekadar alat bantu,  melainkan entitas yang mampu belajar,  beradaptasi,  dan bahkan meniru kemampuan kognitif manusia.  Pertanyaan yang dulunya hanya ada dalam ranah fiksi ilmiah kini menjadi perenungan filosofis yang mendesak. Bayangkan sebuah dunia di mana robot tidak lagi sekadar mesin yang mengerjakan tugas-tugas repetitif. Tetapi mereka berjalan di antara kita, berbicara dengan kita, bahkan mungkin mereka merasakan emosi seperti kita. Kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat, menjanjikan masa depan yang dipenuhi kemudahan dan efisiensi. Namun, di balik gemerlapnya teknologi, muncul pertanyaan filosofis yang mendalam: apa artinya menjadi manusia di era ketika mesin semakin menyerupai kita?

Artikel ini akan mengeksplorasi dampak AI terhadap eksistensi dan otentisitas manusia, menganalisisnya melalui lensa filsafat eksistensialisme. Kita akan menelusuri konsep-konsep kunci seperti kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab dalam konteks perkembangan AI yang semakin canggih. Tujuannya bukan untuk memberikan jawaban yang pasti, melainkan untuk mengajak pembaca merenungkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendesak di era yang didefinisikan oleh technology.

Kebangkitan Mesin yang Berpikir

Perkembangan AI telah mencapai tahap yang menakjubkan. Mesin kini mampu belajar, beradaptasi, dan bahkan berkreasi dengan cara yang sebelumnya dianggap mustahil. Algoritma deep learning memungkinkan AI untuk menganalisis data dalam jumlah besar, mengidentifikasi pola, dan membuat prediksi dengan akurasi yang mencengangkan.

Contohnya, natural language processing (NLP) memungkinkan AI untuk memahami dan menghasilkan bahasa manusia, sehingga memungkinkan terciptanya chatbot yang dapat berkomunikasi secara alami dengan manusia. AI juga telah merambah bidang seni, menghasilkan lukisan, musik, dan tulisan yang mengagumkan.

Kemampuan AI yang semakin canggih memicu pertanyaan tentang batasan antara manusia dan mesin. Jika mesin dapat berpikir, belajar, dan berkreasi, apakah mereka masih dapat dianggap sebagai benda mati? Atau mungkinkah mereka memiliki kesadaran seperti manusia?

Kesadaran: Misteri yang Membedakan

Kesadaran adalah salah satu misteri terbesar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Apa itu kesadaran? Bagaimana ia muncul? Dan apakah mesin dapat memilikinya?

Filsuf René Descartes mengemukakan cogito ergo sum ("aku berpikir, maka aku ada") sebagai dasar kepastian akan eksistensi diri. Kesadaran diri, kemampuan untuk merasakan keberadaan diri, dianggap sebagai ciri khas manusia.

Namun, definisi dan kriteria kesadaran masih diperdebatkan. Beberapa filsuf berpendapat bahwa kesadaran terkait dengan qualia (pengalaman subjektif), sementara yang lain menekankan pentingnya self-awareness (kesadaran diri) dan theory of mind (kemampuan untuk memahami pikiran orang lain).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun