Secara global, bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dengan kecenderungan peningkatan pada kelompok anak dan remaja. Tingkat bunuh diri bervariasi mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh diri dan tindakan bunuh diri. Faktor risiko bunuh diri pada anak dan remaja mencakup gangguan psikiatri, stresor psikososial, faktor kognitif dan faktor biologi. Selain itu bunuh diri pada anak dan remaja juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, pemahaman mengenai kosep kematian, faktor afektif dan peran kelekatan.
Bunuh diri adalah usaha tindakan atau pikiran yang bertujuan untuk mengakhiri hidup yang dilakukan dengan sengaja, mulai dari pikiran pasif tentang bunuh diri sampai akhirnya benar-benar melakukan tindakan yang mematikan.Â
Keparahan tingkat bunuh diri bervariasi, mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan melakukan bunuh diri (completed suicide).Â
Ide bunuh diri yaitu pemikiran untuk membunuh diri sendiri; membuat rencana kapan, dimana, dan bagaimana bunuh diri akan dilakukan; dan pemikiran tentang efek bunuh dirinya terhadap orang lain.Â
Ancaman bunuh diri merupakan ungkapan yang ditujukan kepada orang lain yang mengindikasikan keinginan untuk melakukan bunuh diri.Â
Sedangkan percobaan bunuh diri/parasuicide didefinisikan sebagai semua tindakan melukai diri sendiri dengan hasil yang tidak fatal dengan tujuan untuk mencari perhatian, dan keinginan untuk menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian yang tercantum pada sertifikat kematian atas dirinya (Rathus dan Miller, 2002; Pelkonen dan Marttunen, 2003; Orden et al., 2011)Â
Beberapa Kejadian Bunuh diri pada remaja
Seorang remaja berusia 15 tahun ditemukan tewas di apartemen di Cakung, Jakarta Timur. Polisi menduga korban tewas bunuh diri.
Korban ditemukan pada pada Minggu (6/8/2023), sekitar pukul 21.00 WIB. Polisi yang melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) menemukan selembar gambar di dekat korban.
Remaja berinisial FJ (17) di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ditemukan tewas dalam posisi tergantung di kamar mandi rumahnya. Aksi itu diduga karena stres dengan masalah hidupnya. "Telah meninggal dunia seorang warga, karena gantung diri dengan menggunakan tali rapiah," ujar Kasi Humas Polrestabes Makassar Kompol Lando KS kepada detikSulsel, Kamis (1/6/2023).
Seorang remaja laki-laki ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Korban nekat bunuh diri diduga karena depresi ditinggal kekasihnya menikah. Korban yakni F (20) warga Desa Ngraseh, Dander, Bojonegoro. Korban tewas tergantung dengan kain sarung dan kedua tangan terlihat memegangi seutas kain yang terlilit di lehernya.
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (Unair) ditemukan tewas bunuh diri di dalam mobil di Sidoarjo, Jawa Timur. Mahasiswi berinisial CA (21) itu juga meninggalkan dua surat wasiat yang diduga ditulis sendiri.
Hal serupa juga dialami di beberapa negara di Luar Negeri termasuk di Amerika Serikat bahwa, Tingkat pembunuhan remaja AS naik ke titik tertinggi dalam hampir 25 tahun selama pandemi COVID-19. Tingkat bunuh diri untuk orang dewasa di awal usia 20-an juga jadi yang terburuk dalam lebih dari 50 tahun.
Laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) memeriksa tingkat pembunuhan dan bunuh diri di antara anak usia 10 hingga 24 tahun dari tahun 2001 hingga 2022.
Apakah Fenomena Bunuh diri ada korelasinya dengan Gen Z?
Generasi Z adalah kelompok demografis yang mengikuti generasi Y dan sering kali didefinisikan sebagai orang yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2010-an.
Berikut adalah beberapa karakteristik umum yang sering dikaitkan dengan generasi Z:
Teknologi dan Digital Natives: Generasi Z tumbuh dalam era teknologi digital yang cepat, di mana akses ke internet, media sosial, dan perangkat pintar adalah hal yang umum. Mereka dianggap sebagai "digital natives" karena tumbuh dengan teknologi sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka.
Multitasking: Dikarenakan paparan yang intens terhadap teknologi, Generasi Z cenderung memiliki kemampuan multitasking yang baik. Mereka dapat dengan mudah berpindah antara berbagai tugas dan platform.
Pendidikan Berbasis Teknologi: Sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh teknologi digital adalah ciri khas bagi Generasi Z. Mereka lebih cenderung mengandalkan internet dan perangkat elektronik untuk belajar.
Pemikiran Kritis dan Kreativitas: Generasi Z cenderung mengembangkan pemikiran kritis dan kreativitas, sebagian besar karena akses mereka terhadap beragam informasi melalui internet. Mereka juga diakui sebagai kelompok yang suka berpikir out-of-the-box.
Aktivisme dan Kesadaran Sosial: Banyak dari Generasi Z yang terlibat dalam aktivisme dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Mereka sering terlibat dalam isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, hak LGBT, dan berbagai isu sosial lainnya.
Fleksibilitas dan Kewirausahaan: Generasi Z cenderung memiliki sikap yang lebih fleksibel terhadap pekerjaan dan karir. Banyak dari mereka tertarik untuk menjadi kewirausahaan atau memiliki pekerjaan sampingan.
Ketidaksetiaan pada Merek dan Keterlibatan Merek: Generasi Z seringkali dianggap kurang setia terhadap merek dan lebih fokus pada pengalaman. Merek-merek yang memiliki nilai dan tujuan yang sejalan dengan nilai-nilai generasi ini cenderung lebih berhasil menarik perhatian mereka.
Keterlibatan Politik dan Sosial: Sebagian besar Generasi Z menunjukkan minat yang kuat dalam keterlibatan politik dan sosial. Mereka cenderung menggunakan media sosial untuk menyuarakan pandangan mereka dan terlibat dalam perubahan sosial.
Permasalahan kesehatan mental, termasuk risiko bunuh diri, melibatkan faktor-faktor yang sangat kompleks dan bervariasi dari individu ke individu. Namun, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan mental generasi Z dan mungkin berkontribusi pada risiko bunuh diri. Beberapa di antaranya termasuk:Â
Teknologi dan Media Sosial: Generasi Z tumbuh di era di mana teknologi dan media sosial menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Paparan yang tinggi terhadap media sosial dapat memengaruhi persepsi diri, menghasilkan tekanan sosial, dan meningkatkan rasa tidak puas dengan diri sendiri.
Tekanan Akademis: Generasi Z sering mengalami tekanan akademis yang tinggi, terutama dengan persaingan ketat dalam dunia pendidikan. Harapan yang tinggi dari keluarga dan masyarakat dapat meningkatkan stres dan kecemasan.
Isolasi Sosial: Meskipun terhubung secara digital, generasi ini juga dapat mengalami isolasi sosial yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya koneksi sosial dalam kehidupan nyata, bullying online, atau perasaan kesepian.
Isu Identitas dan Diversitas: Generasi Z hidup dalam lingkungan yang semakin menyadari isu-isu identitas dan diversitas. Beberapa individu mungkin menghadapi tantangan dalam mengatasi isu-isu identitas, seperti orientasi seksual atau identitas gender, yang dapat meningkatkan risiko kesehatan mental.
Ketidakpastian Masa Depan: Faktor-faktor ekonomi dan sosial, seperti ketidakpastian ekonomi, pekerjaan yang tidak stabil, atau masalah lingkungan, dapat menciptakan ketidakpastian masa depan yang dapat memengaruhi kesehatan mental.
Akses Terbatas ke Perawatan Kesehatan Mental: Beberapa generasi Z mungkin menghadapi kendala akses terhadap perawatan kesehatan mental. Stigma terkait dengan kesehatan mental, biaya perawatan, atau kurangnya dukungan sosial dapat menjadi hambatan.
Pengaruh Konten Media: Beberapa konten media, terutama yang berhubungan dengan kematian atau kekerasan, dapat memengaruhi kesehatan mental generasi Z, terutama jika mereka tidak dilengkapi dengan dukungan dan pemahaman yang memadai.
Bagaimana Dalam Perspektif Hukum ?
Setiap orang memiliki hak hidup, yang merupakan salah satu dari Hak Asasi Manusia, diatur dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945, yaitu "setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya".
Kasus bunuh diri belum spesifik diatur oleh undang-undang jika berkaitan dengan motivasi diri, namun mengenai orang yang mendukung atau membujuk orang lain bunuh diri diatur pada pasal 345 KUHPÂ yang berbunyi:
"Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri".
Pencegahan Tindakan Bunuh diri
Kesehatan mental sebagai isu serius dan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Faktor-faktor tersebut bersifat kompleks dan berbeda untuk setiap individu. Pemahaman dan dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat secara keseluruhan dapat membantu mengurangi risiko bunuh diri di kalangan generasi Z.
Pencegahan bunuh diri pada Generasi Z melibatkan pendekatan holistik yang melibatkan individu, keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Berikut adalah beberapa langkah dan strategi yang dapat diambil untuk mencegah tindakan bunuh diri di kalangan Generasi Z:
Pendidikan tentang Kesehatan Mental: Menyediakan pendidikan tentang kesehatan mental di sekolah dan komunitas untuk meningkatkan pemahaman tentang perasaan, stres, kecemasan, dan cara mengatasi mereka.
Mengurangi Stigma Kesehatan Mental: Melibatkan kampanye untuk mengurangi stigma terkait dengan masalah kesehatan mental sehingga individu yang membutuhkan bantuan merasa lebih nyaman untuk mencari dukungan.
Dukungan Psikososial di Sekolah: Menyediakan layanan konseling di sekolah dengan profesional kesehatan mental untuk memberikan dukungan kepada siswa yang memerlukannya.
Meningkatkan Kesadaran akan Sumber Daya: Memastikan bahwa Generasi Z dan lingkungan sekitarnya tahu tentang sumber daya yang tersedia, seperti garis bantuan kesehatan mental, pusat krisis, atau layanan dukungan online.
Mengajarkan Keterampilan Penanganan Stres: Mengintegrasikan pelatihan keterampilan penanganan stres dan keterampilan hidup sehat ke dalam kurikulum pendidikan untuk membantu individu mengatasi tekanan dan tantangan.
Pemantauan Aktivitas Online: Orang tua dan wali harus terlibat secara aktif dalam memantau aktivitas online anak-anak mereka untuk mendeteksi perilaku atau isyarat yang mengkhawatirkan.
Pencegahan Bullying: Melibatkan kampanye anti-bullying di sekolah dan komunitas untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung.
Pengenalan Tanda-tanda Bahaya: Memberikan pelatihan kepada pendidik, teman, dan keluarga untuk mengenali tanda-tanda bahaya dan risiko bunuh diri sehingga mereka dapat merespon dengan cepat.
Keterlibatan Orang Tua: Meningkatkan komunikasi antara orang tua dan anak-anak mereka, menciptakan ruang yang aman untuk berbicara tentang masalah kesehatan mental.
Pemberdayaan: Mendorong kemandirian dan pemberdayaan generasi Z untuk mengidentifikasi dan mengartikan perasaan mereka serta mencari bantuan ketika diperlukan.
Pencegahan Akses ke Alat Bunuh Diri: Meningkatkan kesadaran tentang risiko akses ke metode bunuh diri, seperti menyimpan senjata api, obat-obatan berlebihan, atau bahan-bahan berbahaya lainnya.
Meningkatkan Keamanan Lingkungan: Meningkatkan keamanan di sekitar tempat-tempat yang dikenal sebagai "hotspot" bunuh diri, seperti jembatan atau stasiun kereta, untuk mencegah akses yang mudah.
Kedekatan Dengan Tuhan : Bahwa segala masalah yang ada semua pasti ada jalan keluarnya "Tuhan tidak akan memberikan pencobaan diluar batas kemampuan umatNya, dan semua agama pastinya melarang tindakan bunuh diri.
Pencegahan bunuh diri melibatkan kerjasama dari berbagai pihak, dan pendekatan yang komprehensif dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan mencegah tindakan bunuh diri di kalangan Generasi Z
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI