Dikutip dari Perencanaan Kepelatihan Olahraga karya Hariyanto, dkk. (2023:38), sepak bola menempati urutan kedua sebagai olahraga paling populer di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya kelompok suporter di Indonesia, seperti The Jakmania dari Jakarta, Viking dan Bobotoh dari Bandung, Bonek Mania dari Surabaya, Aremania dari Malang, serta Barito Mania dari Banjarmasin. Selain itu, masih banyak kelompok suporter lainnya yang turut memeriahkan dunia sepak bola Tanah Air.
Pada era 2000-an, kultur "mania" sangat melekat pada suporter Indonesia. Kultur "mania" sendiri merupakan adaptasi dari kultur suporter Amerika Latin, yaitu barrabravas, yang diperkenalkan oleh pemain sepak bola asal Amerika Latin yang bermain di klub-klub Indonesia (Dipo Prasetya, 2023). Namun, budaya "mania," yang identik dengan mengenakan jersey tim kebanggaan, mulai ditinggalkan oleh generasi saat ini.
Lalu, apa itu kultur "mania" dalam dunia suporter? Menurut Dipo Prasetya (2023), kultur "mania" merujuk pada budaya kreatif yang berkembang dalam komunitas suporter sepak bola di Indonesia. Dimulai pada tahun 1990-an, kultur ini lahir dari semangat individu-individu yang membentuk kelompok untuk mendukung tim kebanggaan mereka dengan cara-cara unik dan kreatif. Mereka memperkenalkan elemen-elemen khas seperti meneriakkan chant (yel-yel), melakukan atraksi gerakan, membawa terompet, petasan, atau flare, sehingga menciptakan atmosfer dukungan yang meriah dan penuh semangat di stadion.
Dari sinilah muncul istilah "suporter kreatif," yang menggambarkan suporter dengan gaya dukungan yang tidak hanya berfokus pada kehadiran di stadion, tetapi juga pada aspek hiburan dan penyemangat bagi tim mereka. Beberapa kelompok besar yang menjadi pelopor kultur ini adalah The Jakmania (suporter Persija Jakarta), Aremania (suporter Arema Malang), dan Bonek Mania (suporter Persebaya Surabaya). Hingga kini, mereka menjadi contoh representasi kreativitas dan loyalitas suporter sepak bola di Indonesia.
Foto arsip. Sejumlah suporter Arema FC menyalakan suar atau flare seusai tim yang mereka dukung mencetak gol ke gawang PSIS Semarang pada laga uji coba di Stadion Jatidiri Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (4/6/2022).
Namun, seiring berjalannya zaman, kultur mania mulai ditinggalkan oleh suporter di Indonesia. Hal ini juga menimbulkan konflik. Salah satu dampak yang timbul dari perubahan kultur mania menjadi ultras dan hooligan adalah munculnya konflik di antara suporter yang memiliki aliran berbeda. Contohnya, seperti kasus Aremania dan BCS (Brigata Curva Sud) yang berselisih. Salah satu faktor penyebabnya adalah chant yang dinyanyikan Aremania untuk menyindir BCS, "makan tahu tempe pakai bilang ale-ale," yang menyebabkan kedua belah pihak bentrok di stadion hingga merusak fasilitas bahkan sampai melukai orang lain. Tindakan tersebut jelas merupakan tindakan kriminalitas yang telah mengganggu ketertiban masyarakat umum yang tidak tahu-menahu mengenai masalah tersebut. Hal ini sejalan dengan definisi kriminalitas yang dikemukakan oleh Khairani & Ariesa (2019).
Lalu, bagaimana kultur suporter sepak bola Inggris dan Italia mempengaruhi kultur suporter sepak bola di Indonesia? Salah satu contoh kultur yang masuk adalah kultur ultras dari Italia. Suporter dari klub PSS Sleman adalah salah satu contoh ultras terbesar di Indonesia. Kultur ultras identik dengan memakai pakaian hitam dan bernyanyi selama pertandingan penuh. Ada beberapa definisi ultras dalam dunia sepak bola. Menurut Begawan (dalam Fairush, 2013:5), ultras dalam kelompok sepak bola digambarkan sebagai kelompok suporter yang memiliki mental keras dan sangat total dalam memberikan dukungannya pada tim kebanggaan mereka. Chant yang digunakan kebanyakan menggunakan bahasa Italia, seperti "Forza Sleman," "Ale Ale Sleman," "Bianco Verde Ale."
Subkultur suporter casual memiliki akar yang kuat dari budaya sepak bola Inggris pada awal 1980-an, khususnya di kalangan pendukung klub-klub Liga Utama Inggris yang kini dikenal sebagai Premier League. Gaya hidup ini tidak hanya sekadar menunjukkan loyalitas pada klub, tetapi juga menjadi sebuah pernyataan identitas melalui pilihan mode dan gaya berpakaian yang khas.
Para suporter casual dikenal karena penampilan mereka yang stylish namun tetap terkesan santai. Elemen ikonik dari subkultur ini meliputi jaket kulit atau bomber, sepatu lari bermerek, dan pakaian dengan label premium seperti Stone Island, Burberry, atau Fred Perry. Dengan perpaduan ini, mereka berhasil menciptakan gaya yang mengaburkan batas antara budaya sepak bola dan tren fashion.
Tidak heran, subkultur ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Sebagian suporter Barito Putera, misalnya, turut mengadopsi gaya casual sebagai bentuk ekspresi diri yang unik dan modern. Dengan semangat mendukung tim kebanggaan mereka, para suporter ini tak hanya menunjukkan cinta pada sepak bola, tetapi juga melestarikan budaya global yang menghubungkan sportivitas dengan estetika mode.
Subkultur casual menjadi lebih dari sekadar gaya hidup; ia adalah simbol perlawanan terhadap stereotip suporter sepak bola yang sering diasosiasikan dengan kekerasan. Melalui penampilan mereka, suporter casual membangun citra yang lebih positif, elegan, dan berkelas, menjadikan sepak bola sebagai ajang sportivitas sekaligus ekspresi budaya yang mendunia.