Berdiri sejak 20 Januari 1918, Gereja Jago Lawang merupakan salah satu gereja Katolik tertua di Indonesia. Awalnya, gereja ini dibangun untuk memfasilitasi aktivitas beribadah orang Belanda. Setelah kurang lebih 76 tahun berdiri, bangunan gereja ini di renovasi karena berkembangnya jumlah jemaat dan kebutuhan gereja, lalu pada tahun 1998 bangunan gereja diberkati oleh Uskup Malang, MGR. H.J.S. Pandoyoputro O.Carm.Â
Pada tahun yang sama, Gereja Jago merubah namanya menjadi Gereja Santa Perawan Maria Tak Bernoda. Saat ini, jemaat Gereja Jago tidak hanya masyarakat etnis Belanda, tapi juga berasal dari berbagai etnis antara lain Jawa, Tionghoa, Bali, dan Sunda. Seiring dengan perbedaan etnis jemaatnya, gedung Gereja Santa Perawan Maria Tak Bernoda juga menggabungkan beberapa unsur budaya yang berbeda seperti Kolonial, Jawa, dan Bali di dalam interiornya.
Unsur budaya Kolonial dapat kita rasakan lewat plafon yang tinggi, yang merupakan salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda kuno. Plafon yang tinggi ini bermanfaat dalam memberi suasana sejuk dan dingin di dalam ruang gereja. Selain itu, penggunaan kaca patri dan lampu gantung juga merupakan salah satu ciri bangunan kolonial kuno. Gambar pada kaca patri disesuaikan dengan simbol-simbol gerejawi sehingga tidak menghilangkan fungsi utama bangunan gereja dan kekhusyukan di dalamnya. Ciri khas kolonial terakhir yang dapat kita temukan di gedung gereja ini adalah fasad bangunan yang berbentuk segitiga.
Salah satu spot yang dapat langsung menarik perhatian kita saat masuk ke dalam gedung adalah bagian altar. Selain karena lebih tinggi dari area duduk jemaat, spot ini menarik perhatian karena ukiran batu nya yang menonjol dan unik. Ukiran batu di belakang altar mengandung unsur budaya Bali, terlihat dari adanya beberapa motif ukiran Bali seperti Endhong, Trubusan, dan Angkup.Â
Bentuk 2 wanita pada ukiran batu terlihat mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian adat Bali, namun di saat yang bersamaan juga mengandung unsur religius karena 2 figur tersebut memegang kitab suci yang bertuliskan (Alpha) dan (Omega). Ukiran batu juga terdapat di kedua sisi altar, di atas pilar. Ukiran di atas pilar berbentuk ayam jago, yang merupakan ciri khas gereja tersebut, dan juga bentuk hati. Elemen pengisi di dua ukiran tersebut berbentuk daun-daun yang sangat mirip dengan ukiran floral yang biasa kita temui di berbagai Pura di Bali.
Unsur budaya terakhir yang dapat kita jumpai di gedung ini adalah budaya Jawa. Hal ini terlihat dari bentuk plafon segiempat seperti kebanyakan rumah tradisional Jawa, dan bentuk bangunannya yang menyerupai Rumah Joglo.
interior gereja ini dapat membuat kita merasa seperti berada di rumah. Selain karena suasananya yang dingin dan sejuk, finishing dari lantai dan dinding membuat kita sangat nyaman karena pemilihan warna yang terasa seperti menghadirkan alam dan kesederhanaan.
Berbagai unsur budaya memang tersedia di dalam gedung bersejarah ini, namun hal yang paling menarik adalah bagaimanaDinding dan pilar diberi finishing cat dengan motif batu bata. Sedangkan lantainya menggunakan keramik bermotif beton sehingga terlihat seperti lantai pada rumah-rumah tradisional. Suasana yang nyaman dan perasaan seperti di rumah ini akan membuat kita lebih bisa fokus dan khusyuk, sehingga aktivitas berdoa, beribadat, dan pengembangan iman dapat berlangsung dengan lancar dan maksimal. Estetika dan filosofi pada suatu ruang interior memang penting, namun bagaimana ruangan itu dapat membuat kita merasa seperti di rumah juga tidak kalah penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H