Pada tahun yang sama, Gereja Jago merubah namanya menjadi Gereja Santa Perawan Maria Tak Bernoda. Saat ini, jemaat Gereja Jago tidak hanya masyarakat etnis Belanda, tapi juga berasal dari berbagai etnis antara lain Jawa, Tionghoa, Bali, dan Sunda. Seiring dengan perbedaan etnis jemaatnya, gedung Gereja Santa Perawan Maria Tak Bernoda juga menggabungkan beberapa unsur budaya yang berbeda seperti Kolonial, Jawa, dan Bali di dalam interiornya.
Unsur budaya Kolonial dapat kita rasakan lewat plafon yang tinggi, yang merupakan salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda kuno. Plafon yang tinggi ini bermanfaat dalam memberi suasana sejuk dan dingin di dalam ruang gereja. Selain itu, penggunaan kaca patri dan lampu gantung juga merupakan salah satu ciri bangunan kolonial kuno. Gambar pada kaca patri disesuaikan dengan simbol-simbol gerejawi sehingga tidak menghilangkan fungsi utama bangunan gereja dan kekhusyukan di dalamnya. Ciri khas kolonial terakhir yang dapat kita temukan di gedung gereja ini adalah fasad bangunan yang berbentuk segitiga.
Bentuk 2 wanita pada ukiran batu terlihat mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian adat Bali, namun di saat yang bersamaan juga mengandung unsur religius karena 2 figur tersebut memegang kitab suci yang bertuliskan (Alpha) dan (Omega). Ukiran batu juga terdapat di kedua sisi altar, di atas pilar. Ukiran di atas pilar berbentuk ayam jago, yang merupakan ciri khas gereja tersebut, dan juga bentuk hati. Elemen pengisi di dua ukiran tersebut berbentuk daun-daun yang sangat mirip dengan ukiran floral yang biasa kita temui di berbagai Pura di Bali.
Unsur budaya terakhir yang dapat kita jumpai di gedung ini adalah budaya Jawa. Hal ini terlihat dari bentuk plafon segiempat seperti kebanyakan rumah tradisional Jawa, dan bentuk bangunannya yang menyerupai Rumah Joglo.
Dinding dan pilar diberi finishing cat dengan motif batu bata. Sedangkan lantainya menggunakan keramik bermotif beton sehingga terlihat seperti lantai pada rumah-rumah tradisional. Suasana yang nyaman dan perasaan seperti di rumah ini akan membuat kita lebih bisa fokus dan khusyuk, sehingga aktivitas berdoa, beribadat, dan pengembangan iman dapat berlangsung dengan lancar dan maksimal. Estetika dan filosofi pada suatu ruang interior memang penting, namun bagaimana ruangan itu dapat membuat kita merasa seperti di rumah juga tidak kalah penting.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI