Setiap individu tentu memiliki perasaan insecure terhadap orang lain. Sedikit atau banyak, rasa itu hidup dalam tubuh manusia. Menilai diri sendiri inferior dari orang lain sehingga tidak mampu menghadapi suatu tantangan juga menjadi luapan emosi yang dirasakan.
Hal yang kemudian membedakan adalah bagaimana mengubah 'insecure' menjadi motivasi untuk selalu berjuang dan berbenah diri. Haffiyana Nurlitasari adalah satu sosok yang berjuang dengan perasaan minder. Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta semester enam itu terbiasa hidup di lingkungan orang-orang bertalenta secara kognitif.
"Sebenarnya, aku tuh orang yang biasa aja. Enggak pintar dan bersemangat. Bahkan aku jarang ranking. Selalu urutan ke 5-an, padahal muridnya cuma 30 orang waktu itu sekelas," ucap Hana, Selasa (22/6).
Ia memilih untuk menerima dan memilih jalan lain untuk berjuang. Memperlihatkan bahwa ia mampu, meski tidak melalui jalur akademis. Bukan hanya untuk memenuhi standar yang sama dengan orang lain.
Hana tak memungkiri, usia 16 tahun telah menjadi titik balik kehidupannya. Perjalanan hidup yang fluktuatif sudah dimulai sejak ia menduduki bangku SMA. Berada di sekolah favorit adalah alasannya. Tempat itu memaksa dirinya untuk bisa survive dengan kemampuan yang ia miliki.
"Aku kan sekolah di SMA Negeri 1 Bantul. Nah, di situ aku sadar bahwa aku tidak bisa menyaingi teman-temanku dengan jalan yang sama. Sebenarnya bisa saja, tapi aku lebih memilih untuk membantu bisnis orangtuaku. Dulu sih mikirnya ya buat bekal hidup kedepannya, eh sekarang malah ketagihan bisnis," ucapnya.
Sejak saat itu, Hana memilih untuk tidak mengikuti arus. Belajar memahami diri sendiri tanpa mengikuti gaya orang lain. Baginya, setiap orang memiliki jalan masing-masing dalam meraih mimpinya. Tidak melulu tentang belajar ilmu eksak.
"Aku kan anak IPA. Dari situ aku justru merasa bahwa aku salah jurusan, semakin hari semakin nggak paham sama pelajarannya. Makanya aku mikir kalau aku harus bisa beda dari teman-temanku," tambahnya.
Gadis pemilik kulit putih pucat itu juga mencintai dunia fotografi. Aktivitas atau hobi mengumpulkan foto hasil jepretannya mulai ia tekuni. Ia tidak peduli, meski hasil fotonya hanya mendekam di laptopnya. Menurutnya, menjadi seorang fotografi membuatnya semakin menghargai momen.
"Waktu itu, apa yang aku lakuin dianggap lucu. Ngapain ngumpulin foto banyak-banyak cuma buat pajangan di laptop. Tapi dari kegiatan itu justru aku lebih menghargai suatu peristiwa,"
Bekal pengalaman yang ia dapatkan selama duduk di bangku sekolah ia lanjutkan di perkuliahan. Bermodalkan rasa suka pada bidang tulis-menulis, memotret, dan bertemu orang lain membuatnya memilih Jurusan Ilmu Komunikasi.
Hana bercerita bahwa ia ingin sekali melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia (UI) karena sebenarnya memang ia sudah diterima dan tinggal verivikasi berkas. Kondisi keluarga yang kemudian mengharuskannya untuk menetap di Yogya. Berbekal saran dari ibunya, Hana memiilih untuk meneruskan pendidikanya di UPN (Universitas Pembangunan Nasional) "Veteran" Yogyakarta.
Tak kalah berbeda dengan masa SMA-nya dulu, di bangku kuliah ia semakin mengasah potensinya. Hana banyak mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh jurusan bahkan kampusnya. Pergi keluar kelas membuat berita sampai menjadi reporter berita di organisasinya. Tidak ketinggalan, ia juga memiliki bisnis skinkare; masker wajah. Setiap hari mengharuskannya untuk COD atau mengirim paket pesanan pembeli di jasa pengiriman. Meski demikian, Hana tidak pernah terlambat dalam mengerjakan tugas kuliahnya.
"Kalau soal pembagian waktu, aku pasti akan mengaturnya sesuai dengan prioritas yang kumiliki. Biasanya aku pakai plan A dan plan B (sebagai cadangan). Supaya tidak ada waktu yang terbuang," jelas Hana.
Di sisi lain, perjuangan Hana juga menjadi bukti bahwa tidak semua dengan awal buruk akan memiliki akhir yang buruk juga. Kondisi keluarga yang memiliki basic bisnis, mengharuskannya bertindak positif. Bagaimanapun, ia harus tetap melanjutkan jalan hidupnya sendiri.
"Kondisi keluarga mungkin terbilang biasa saja. Bapak ibuku juga bukan orang yang suka memberi semangat. Karena kondisi itu, justru dengan memiliki bisnis ini, aku bisa mengutarakan emosiku secara positif," katanya.
Ketika Hana merasa sedih atau down, cara terbaik baginya untuk meluapkan perasaan adalah dengan melakukan review masker di Instagram story bisnisnya. Pada akhirnya, sesuatu yang berawal hanya untuk menyibukkan diri menjadi sebuah kebiasaan baik yang hadir dalam hidup. Baginya, banyak atau sedikitnya penjualan bukan tujuannya.
Ia mengerti, meski sudah berusaha, terkadang rasa kekecewaan turut hadir dalam perjalanan. Entah diri sendiri ataupun orang lain. Bahkan terkadang, rasa itu datang dari orang terdekat sekalipun. Orang tua, misalnya.
Kesedihan sempat terlintas dalam hatinya. Namun ia sadar, banyak hal lain yang harus lebih disyukuri. Kalau mau menuntut semua harus sesuai kehidupan, tidak akan bisa. Life is full of surprise. Tidak semua hal yang kita harapkan bisa sesuai dengan ekspektasi.
Perasaan sedih yang muncul dalam hati, ia buang jauh-jauh menjadi rasa syukur. Sewaktu ia menduduki kelas satu SMA, ia melihat seorang anak yang tiba-tiba menangis kencang. Tak tahu penyebabnya, beberapa orang mendekat dan bertanya.
"Nah, waktu ditanya, ternyata anak kecil itu nangis karena kangen sama ayahnya. Ternyata, dia anak yatim. Jadi, kalau kangen ya, udah nggak bisa ketemu lagi," katanya.
Hana tertegun. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan nikmat yang Tuhan berikan padanya setiap hari. Ia masih bisa kuliah dan menjalankan bisnis secara bersamaan. Bertemu orang tua yang masih lengkap meski tidak tentu waktunya. Sesekali juga masih bisa telepon dan bercerita. Sejak saat itu, yang ia tahu hanyalah bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. Motivasi yang terus ia bawa sampai saat ini.
Di usianya yang sudah mencapai 21 tahun itu, masih banyak harapan yang ingin ia wujudkan. Bercita-cita membuat lapak usaha yang mampu memberdayakan masyarakat adalah keinginan yang masih Hana upayakan. Rasa kemanusiaan yang mendorongnya selalu berbuat hal baik.
"Dari dulu, aku pengin banget bikin usaha yang bisa memberdayakan orang lain. Aku ngerasa senang kalau orang bisa terbantu dengan usaha yang aku buat," ujarnya.
Jika dilihat, Hana memang menyukai pekerjaan-pekerjaan humanis. Bahkan, ketika disuruh memilih public relations dengan jurnalis, ia akan menunjuk opsi yang kedua. Alasannya, menjadi seorang pewarta bisa menyampaikan fakta secara lebih bebas dan apa adanya. Tidak ketinggalan, ia juga bertekad membesarkan bisnis skincare yang telah dirintis dari nol dan yang sudah ia anggap sebagai anak kecilnya.
Perjalanan yang fluktuatif, mengajarkan Hana banyak perjalanan hidup. Tidak menyepelekan hal kecil. Serius dalam mengerjakan sesuatu. Termasuk totalitas dan bekerja keras dalam setiap kesempatan.
"Jangan pernah menyepelekan sesuatu sekecil apapun. Karena kita nggak akan tahu hidup kedepan akan jadi seperti apa," ujar Hana di akhir cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H