Simpulan dari uraian artikel diatas , Aksi yang dilakukan China di kawasan Laut China Selatan bukan hanya mengklaim secara kawasan tetapi juga mengelola dan mengeksploitasi pulau-pulau dan sumber daya alam yang berada di LCS. China membangun kawasan tersebut lengkap dengan kekuatan pertahanan didalamnya, disini China sangat menunjukan hegemoninya di kawasan Laut China Selatan. Bahkan di Natuna, China melangsungkan hegemoninya dengan melayarkan kapal-kapal nelayan dan melakukan illegal fishing dikawasan perairan yang melewati batas negara Indonesia melainkan sebuah penyampaian  maksud ingin menguasai sebagian perairan Natuna yang di klaimnya dalam peta Nine-Dash Line sebagai kedaulatan negara China. .
   Untuk mengatasi hal ancaman ini, Indonesia perlu melakukan hal negosiasi dan dialog dengan China serta memperkuat klaimnya melalui hukum internasional dan kerjasama internasional. Selain itu, peningkatan kapasitas militer dan diplomatik serta kerjasama dengan negara-negara lain juga penting untuk menjaga kedaulatan di wilayah ini. Indonesia telah mengambil beberapa tindakan hukum dan diplomatik untuk menegaskan klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan, khususnya terkait Kepulauan Natuna dan sengketa maritim yang lebih luas dengan Cina. Berikut ini adalah tindakan-tindakan utama, yang Pertama, Posisi Non-Klaim: Indonesia secara konsisten memposisikan diri sebagai negara non-klaim dalam sengketa Laut Cina Selatan, dan sering bertindak sebagai "broker yang jujur". Kedua, Mahkamah Internasional: Pada bulan November 2015, Menteri Koordinator Bidang Kemananan Indonesia, Luhut Pandjaitan, menyatakan bahwa Indonesia dapat membawa Cina ke pengadilan internasional terkait klaimnya. Indonesia mengajukan komentar ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) terkait klaim Tiongkok dalam arbitrase tersebut. Ketiga, Penegakan Kedaulatan: Indonesia telah mengambil tindakan langsung untuk menegakkan kedaulatannya, seperti penangkapan kapal pukat Tiongkok yang dituduh melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia di dekat Kepulauan Natuna pada bulan Maret 2016.
  Dalam menjaga kepentingan pertahanan kedaulatan wilayah Indonesia, Presiden Joko Widodo merespon aksi China ini dengan bertahap,  mulai dari menigkatkan keamanan Natuna dengan membuat pangkalan militer pertahanan di wilayah Natuna dan menggelar latihan milter, mengirim nota protes kepada kedutaan besar China di Indonesia, sampai menggeluarkan peta baru dengan nama Laut Natuna Utara yang menggantikan Laut China Selatan serta tanda penegasan batas wilayah Indonesia. Terakhir, Presiden Joko Widodo mengunjungi Natuna untuk ke-3 kalinya dan meninjau langsung serta dalam rangka penegasan sikap  Indonesia atas ketetapan kedaulatannya. Sejak dulu hingga pada masa pemerintahan Joko Widodo kini, Indonesia adalah negara penengah dengan sikap yang netral dan tidak memihak pada blok tertentu sesuai dengan arah politik luar negeri Indonesia.
Â
RefrensiÂ
Andryanto, S. Dian. 2021. "Sejak Kapan Laut Cina Selatan Ganti Nama Laut Natuna Utara?" Https://Nasional.Tempo.Co/Read/1536119/Sejak-Kapan-Laut-Cina-Selatan-GantiNamaLaut-Natuna-Utara.
Ariesta, Marcheilla. 2020. "Nota Protes R Berharga Untuk Lindungi Natuna." Retrieved (https://www.medcom.id/internasional/asia/Rb15dwzb-nota-protes-ri-berhargauntuklindungi-natuna).
Callista, Prameshwari Ratna, Muchsin Idris, and Nanik Trihastuti. 2017. 'Klaim Tiongkok Tentang Traditional Fishing Ground Di Perairan Natuna Indonesia Dalam Perspektif UNCLOS 1982', Diponegoro Law Journal, 6.2 (Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro): 1--13
Chapman, Bert. 2016. 'CHINA'S NINE-DASHED MAP', Geopolitics, History, and International Relations, 8.1 (JSTOR): 146--68
Cogliati-Bantz, Vincent P. 2016. 'The South China Sea Arbitration (The Republic of the Philippines v. The People's Republic of China)', The International Journal of Marine and Coastal Law, 31.4 (Brill Nijhoff): 759--74
Corr, Anders (editor). 2018. Great Power, Great Strategies: The New Game in the South China Sea. Maryland: Naval Institute Press.