Di zaman milenial ini, lagu dan musik cukup digemari di kalangan anak muda, bahkan sekarang bukan hanya anak muda saja yang suka mendengarkan musik, orang tua, anak-anak, dan umat Muslim pun menyukainya.
Melalui lagu dan musik juga bisa menjadi wadah apresiasi, dakwah, dan kritik sosial ataupun politik negeri ini. Tidak sedikit penyanyi yang membuat album dari berbagai genre musik, mulai dari pop, rock, jazz, dangdut. Bahkan cukup banyak seniman muslim yang membuat musik bernuansa religius dan modern. Dengan gaya musik yang dikenal dengan qasidah, gambus, atau irama padang pasir. Yang bertujuan untuk mengembangkan syiar Islam.
Perihal lagu dan musik, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkan, tetapi sebagian lagi membolehkannya. Adapun penyebab perbedaan pandangan ulama’ mengenai masalah lagu dan musik diantaranya karena faktor pemahaman penafsiran ayat Alquran, dan karena perbedaan pendapat masalah keshahihan ataupun kemaudlu’an hadis yang membahas masalah ini.
Pendapat yang mengharamkan lagu dan musik:
Sebagaimana dalam QS. Luqman:6 yang artinya: “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata lahwal hadis adalah nyanyian atau lagu. Sebagia ulama’ sepakat bahwa nyanyian atau lagu yang diiringi alat musik adalah haram hukumnya.
Sedangkan pendapat yang dikemukakan Yusuf Qardlawi, penafsiran tadi bukan satu-satunya penafsiran untuk ayat tersebut, karena ada sebagian ulama lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud lahwal hadis adalah berita atau kisah bohong.
Hadis Nabi SAW. Dari Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy'ari, ia berkata: "Akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera dan minumam keras serta alat musik" (HR. Bukhari).
Yang dimaksud kata ma’azif pada ayat diatas adalah semua jenis alat musik. Namun beberapa ulama memberikan komentar bahwa hadis tersebut adalah mu’allaq atau terputus antara Imam Bukhari dengan syaikhnya (Hisyam bin Ammar).
Selain itu ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal, mereka menganggap bahwa musik dapat membuat kita lalai mengingat Tuhan, dan dapat menggoda kita berbuat kemaksiatan yang bertolak belakang dengan prinsip ketakwaan.
Berbeda dengan pendapat ulama tasawuf yang tidak terlalu mempermasalahkan, bahkan banyak yang menggunakan musik sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.
Kemudian pendapat yang menghalalkan lagu dan musik:
Firman Allah QS. Al-Jumu'ah: 11
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
Artinya: "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah)".
Kata al-lahwu bermakna lagu dan sejenisnya. Jika lagu diharamkan, maka sama halnya dengan jual beli (perdagangan) juga diharamkan, karena keduanya berada dala satu susunan lafadz.
Menurut Imam Al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Karena setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah atau nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Dalam ringkasan kitab Ihya' Ulumuddin Imam Al-Ghazali tidak menemukan satupun nash yang secara jelas mengharamkannya. Kalau pun ada nash yang mengharamkan lagu dan musik, keharamannya itu bukan didasarkan pada lagu dan musik itu sendiri, tetapi karena dibarengi dengan kemaksiatan seperti minum-minuman keras, perzinaan, perjudian, dan yang melalaikan kewajiban.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H