Mohon tunggu...
Raihan Tri Atmojo
Raihan Tri Atmojo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UNS. Saat ini sedang senang terhadap dunia blog dan mencoba menambah wawasan dengan berbagai macam bacaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pak, Terima Kasih Nasihatnya (Bagian 2)

26 Juli 2021   11:20 Diperbarui: 26 Juli 2021   12:06 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap akhir pekan kami selalu mengadakan kegiatan belajar bersama. Aku, Fahmi, Agus, dan Fahri secara bergiliran menyediakan tempat untuk belajar bareng. Minggu ini mungkin ditempatku,  pekan depannya di tempat Agus, dan begitu seterusnya. Dalam kelompok kecil itu kami mendiskusikan soal-soal yang sekiranya sulit. Terkadang Fahmi juga menyampaikan tips dan trik yang diberikan guru bimbelnya kepada kami. Tentu yang seperti itu sangat menolong,terlebih bagiku yang hanya mengandalkan materi dari guru dan tidak ikut bimbel sama sekali.

Tak terasa,  tahun terakhirku di SMA sudah mencapai ujungnya. Sebelum kami melaksanakan ujian sekolah, kami berkeliling ke rumah wali kelas kami, baik wali kelas semasa kelas sepuluh, kelas sebelas, maupun kelas dua belas.

"Ayo sini masuk-masuk." Ucap bu Fatimah saat kami sampai dirumahnya. Beliau memang begitu, selalu tersenyum kepada siapapun dan dimanapun. Kami yang pernah menjadi muridnya selama kelas sepuluh pun sering 'dimanja'. Dimanja disini tentu bukan dalam hal akademik, tapi kami sering di traktir makan-makan oleh beliau. Bahkan pernah pada saat kami menyabet banyak juara dalam kegiatan classmeeting, Bu Fatimah menghadiahi kami dengan mengajak kami jalan-jalan ke Yogya, bis dan akomodasi lainnya beliau yang bayar.

"Ini ibu udah beliin bakso lho, masih anget." Ucapnya dengan hangat

"Wahh ibu, kami baru sampai udah banyak makanan saja. Jadi ngerepotin aja bu" Kata Jati.

"Alah, dulu ibu malah pernah ngeluarin biaya dari ini buat kalian kan, hehe"

Kami pun tertawa bersama. Memang benar sih, kalo soal berbagi uang kepada orang lain, Bu Fatimah orangnya memang tidak tanggung-tanggung. Kami  pun berbincang-bincang dengan Bu Fatimah, mulai dari mau kemana kami setelah lulus SMA nanti, ada yang nyoba kedinasan atau tidak, sampai kami memohon doa restu untuk ujian besok.

Selesai acara hari sudah gelap, ternyata sudah maghrib. Jumat sore itu memang sangat berkesan bagi kami. Tentu selain makan-makan baksonya, kalau mendekati perpisahan pasti juga ada acara maaf-maafan kan, itulah yang cukup berkesan bagiku, dan juga bagi yang lain. Senin depan adalah hari pertama kami melaksanakan ujian sekolah. Hari Sabtu dan Minggu kami sekelas berkeliling ke tempat wali kelas kami yang lain.

Hingga akhir rangkaian kegiatan kami ke tempat wali kelas kami, semua baik-baik saja. Namun Minggu sore hari itu tidak seperti biasanya. Saat aku pulang ke rumah, di persimpangan aku ditabrak oleh motor berkecepatan tinggi.

Beberapa saat aku pingsan. Saat tersadar aku merasakan ada sesuatu yang melekat di kaki kiriku. Orang-orang mengerubungiku. Saat kulihat ternyata kaki kiriku sudah penuh darah. 5 menit berselang polisi dari polsek terdekat datang, mereka membawaku kerumah sakit terdekat . Sesampainya disana aku langsung dibawa menuju instalasi gawat darurat. Ibuku pun datang untuk menanyakan kondisiku.

"Gimana Zar, mana aja yang sakit?" dengan wajah cemas ibu bertanya padaku. Dalam hati aku juga merasa nggak enak melihat wajah ibu yang mencemaskanku, itu karena selama  ini aku belum bisa memberikan prestasi yang membanggakan bagi ibuku.

"Engga papa bu, ibu gak usah khawatir kok. Cuma kaki kiri aja sama kepala benjol sedikit" sambil kutunjukkan bagian mana saja yang sakit. Raut wajah cemas masih belum hilang dari wajah ibu walau aku sudah bilang untuk tidak khawatir.

"Ibu juga tidak usah khawatir soal biaya perawatanku disini bu. Tadi ayah dari si penabrak sudah bilang bahwa beliaulah yang akan menanggung biaya perawatannya." Ucapku

"Alhamdulillah deh kalo gitu." Jawab ibu. Raut cemasnya pun mulai hilang. Lalu, Ibuku pun keluar menc ari dokter untuk menanyakan di kamar mana aku akan dirawat. Lima belas menit berlalu, ibuku kembali. Namun ibu gak sendiri, sudah ada perawat yang membersamainya. Aku pun akhirnya dibawa ke ruang rawat inap. Sepanjang perjalanan tidak terlihat begitu banyak orang. Aku pun masuk ke salah satu kamar rawat inap. Jaraknya memang lumayan jauh sih dari Instalasi gawat darurat, tapi fasilitas di dalam kamar ini lumayan lengkap huehe.

Aku kemudian pindah ke kasur kamar, mba perawat pun memberi tahu apa yang harus dilakukan jika ada sesuatu yang tidak mengenakkan, dimana kamar mandinya, dan sebagainya. Lima menit berselang ia sudah keluar dari kamarku.

Ibu kemudian menyetel TV, seperti biasa ibu mencari channel TV pengajian. Oh iya aku baru sadar kalau ini rumah sakit Islam.

"Lha kamu besok ujiannya gimana?" tanya ibuku.

"Paling besok ada guru yang nganterin soalnya kesini. Temen-temen kayaknya juga udah pada tau soal kejadian ini hehe. Ibu santai aja, aku bakal dapetin nilai terbaik di Ujian Sekolah nanti!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun