Judul : Tamasya Kota Pernia
Penulis : Toni Lesmana
Penerbit : BasaBasi
Cetakan : 1, Februari 2018
Tebal : 228 Halaman
ISBN : 978-602-61246-0-9
"Namun kini, aku tak dapat mengerti bagaimana dapat kau hidup tanpa nurani, tanpa hati. Barangkali seluruh penghuni negeri penidur ini tak hanya hidup dalam tidur, barangkali mereka juga hidup tanpa hati, tanpa ruh. Seperti jarum detik. Seperti mesin. Seperti robot. Seperti tubuhmu kini. Tubuhku, tubuhku, o, malangnya tubuhku." - Toni Lesmana
     Tamasya Kota Pernia merupakan buku antologi cerpen karya Toni Lesmana. Cerpen-cerpen yang termuat dalam buku ini telah diterbitkan mulai dari tahun 2009–2017. Buku antologi cerpen ini berisi dua bab dengan judul masing-masing Tamasya Kota Pernia untuk bab pertama dan Dongeng Hutan Kesedihan pada bab kedua. Buku antologi cerpen ini dapat dikatakan berhasil membawakan isu-isu sosial yang tengah berkembang di masyarakat lewat sudut pandang penulis. Di sini Toni Lesmana memperlihatkan bagaimana lihainya ia meramu kata-kata dan membungkusnya dalam sebuah cerita. Meski tidak menggunakan diksi-diksi yang indah dengan makna penuh kias, gaya bahasa sederhana yang digunakan memberi kesan lebih membumi dan nyata dengan kehidupan sehari-hari.Â
     Pada bab pertama, Toni Lesmana nampak sangat berambisi dalam menggambarkan keadaan manusia pada era saat ini. Dengan melibatkan kemajuan teknologi yang berbanding terbalik dengan degradasi moral, dan etika, ia menyelubungkan pesan-pesan tersirat lewat cerita-cerita pendek yang sadis namun realistis. Penggambaran bagaimana bejatnya manusia serta pola pikir mereka yang gila. Bagaimana cinta tak lagi berarti, dan realita seperti mimpi. Sayangnya, bagi mereka yang tak begitu memahami sastra, mereka akan kesulitan untuk mencerna cerita-cerita pada bab 1 ini. Meski gaya bahasa yang digunakan cenderung mudah dimengerti, alur serta suasana dalam cerita cukup membuat pembaca perlu mengulang dua sampai tiga kali. Belum lagi karena suasana erotis nan sadis yang tergambar dalam cerita-cerita pada bab ini, tentu akan membuat sebagian pembaca merasa tidak nyaman. Terutama bagi mereka yang masih awam dan belum dapat menginterpretasikan apa yang dimaksud dengan gamblang, besar kemungkinan mereka akan salah paham dan malah menyoroti bagian-bagian yang seharusnya tak dapat ditelan mentah-mentah. Meski begitu, hal ini dapat menjadi ciri khas tersendiri bagi tulisan Toni, sehingga membuatnya lebih mudah untuk diingat.Â
      Saya sendiri cenderung lebih menyukai bab kedua, karena berisikan dongeng-dongeng manis dan humoris, juga campuran hawa magis. Sedikit berkebalikan dengan bab pertama yang lebih menekankan pada realita dengan suasana yang miris, bab kedua lebih mudah untuk dipahami, utamanya oleh orang-orang awam yang belum benar-benar melek sastra. Pada bab kedua, diceritakan kembali dongeng-dongeng yang menyebar dalam masyarakat lewat gaya bahasa dan kepenulisan seorang Toni Lesmana. Menyenggol mengenai bagaimana manusia sekarang yang asing dengan kebudayaan dan warisan budaya lisan. Anak-anak yang lebih senang main game dan menonton tv dibanding bermain bersama mendengar dongeng dan berpuisi. Bab ini juga menyajikan sudut pandang berbeda pada beberapa isu sosial yang dibahas, salah satunya yakni Ujang Hampos. Penulis seolah menberikan celah untuk kita dapat membenci dan mengutuk perbuatan sang tokoh utama, tetapi di sisi lain juga memberikan sudut pandang baru bahwa kita selaku orang-orang yang berpendidikan tak selamanya dapat menghakimi mereka-mereka yang awam. Karena mereka melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka tahu, bukan apa yang telah mereka pelajari. Mereka tidak mengerti etika dan norma lebih dari kita yang telah menempuh masa sekolah hingga sarjana. Bagaimana perbedaan cara kita memandang sesuatu bukan menjadikan kita merasa lebih benar, tapi kita perlu lebih bisa memahami, karakter serta latar belakang seseorang.
     Toni Lesmana mencoba membuat kita dapat memahami kehidupan dan peraturan sosial di dalamnya lewat sudut pandang mereka yang sering terlupakan. Ia seolah mencoba membuat kita tetap ingat kepada orang-orang yang biasanya terpinggirkan dan keluh kesahnya tak didengar. Melalui buku antologi ini, kita dapat memandang dunia lewat perpektif yang berbeda, kita dapat mengetahui apa-apa yang sebelumnya tertutupi. Kita dapat mengubah pola pikir kita terhadap orang-orang yang biasanya dianggap tak terlalu berarti. Toni Lesmana berhasil membuat pembaca merasakan dunia yang berbeda, dunia yang ada dalam pikiran Toni Lesmana,  lewat tulisannya yang sederhana meski tak mudah dipahami. Tamasya Kota Pernia, perlu lebih banyak diperkenalkan kembali. Ia layak mendapat perhatian generasi muda saat ini.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H