Mohon tunggu...
Taufik Hidayat
Taufik Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - https://ngalirspace.wordpress.com/
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai dan Fungsi Syair Pujian

29 Desember 2021   07:16 Diperbarui: 29 Desember 2021   07:36 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memanggil Kembali Memori

Bagi yang pernah tinggal di kampung, biasanya kita akan mendengar syair yang dilantunkan antara adzan dan iqomah. Tradisi ini bukan tanpa sebab, melainkan terdapat beberapa maslahat yang terkandung didalamnya.

Sembari menunggu pelaksanaan sholat, para jama’ah bisa memanfaatkan waktunya dengan melantunkan syair puji-pujian. Dari aspek psikologis, lantunan syair juga dapat membentuk semangat suasana atau waktu persiapan sebelum sholat berjama’ah. Syair juga dapat menjadi medium syiar (penyebaran ajaran Islam pada masyarakat) dan penguatan akidah umat, sebab didalam syair puji-pujian pasti mengandung dzikir dan nasihat. Beberapa alasan ini turut menguatkan, bahwa lantunan syair (sholawat, dzikir, nasihat, dan puji-pujian) yang dilakukan secara bersama sebelum pelaksanaan sholat berjama’ah bisa termasuk dalam amaliah yang baik dan dianjurkan disesuaikan dengan sikon masjid atau mushala masing-masing.

Beberapa tokoh memiliki pandangan yang selaras berkenaan lantunan syair puji-pujian ini, diantaranya adalah Tamsyah dan Rusyana. Berdasarkan isinya, Tamsyah membagi syair puji-pujian dalam lima kategori, yaitu memuji Allah, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, do’a dan taubat kepada Tuhan, peringatan, dan ajaran agama Islam. Kemudian, Rusyana juga menyampaikan hal yang senada, bahwa isi syair puji-pujian ada enam, yaitu memuji Allah SWT, shalawat kepada Rasulullah, do’a dan taubat kepada Allah, meminta syafaat kepada Rasulullah, menasihati umat agar menjalankan ibadah dan amal sholeh serta menjauhi kemaksiatan, pelajaran mengenai agama tentang keimanan, rukun Islam, fikih, akhlak, tarikh, tafsir Al-Qur’an, shorof, dan lain-lain.[1] (Rosidi dkk, 2000: 527) Kandungan-kandungan inilah yang menyokong syair puji-pujian berfungsi sebagai pendidikan dan penanaman nilai-nilai pada masyarakat atau jama’ah khususnya.

Mengarungi Pesan-Pesan

Ilzamul Wafiq dalam karyanya “Bait-Bait Syair Wali Tanah Jawa” menyebut, bahwa tidak semua syair puji-pujian bebas untuk dilantunkan sebelum sholat, tetapi terdapat kriteria pilihan waktunya, walaupun bukan standar. Pada waktu maghrib, syair yang dikumandangkan bersifat informative, seperti mengandung ajaran rukun iman dan rukun Islam. Kemudian waktu isya’, syair yang dilantunkan bersifat reminder, misalnya mengandung nasihat kematian dan persaudaraan. Waktu subuh, syair yang dibacakan berlirik perasaan mendalam, contohnya berisi tentang rukun iman dan permohonan ampun. Lalu dzuhur dan ashar, sebaiknya syair yang kalem, seperti shalawat-shalawat yang pendek.[2] Walaupun kriteria ini bukan standar, tapi tetap ada pentingnya para jama’ah dan pengurus masjid atau mushala mengetahui ihwal hal ini.

Dalam rentang waktunya, lantunan syair puji-pujian ini telah berhasil mengajak masyarakat khususnya anak-anak menjadi tertarik, sehingga berbondong-bondong menuju masjid atau mushala bersama handaitaulannya. Tradisi ini juga berhasil memantik bakat dan minat dalam seni suara seperti pelatihan tilawatil Qur’an dan lainnya. Kajian mengenai hal ini pernah dilakukan oleh M. Mukhsin Jamil, dkk. yang dibukukan dalam “Syi’iran dan Transmisi Ajaran Islam di Jawa”, walaupun tidak secara khusus membahas tradisi ini. Jazim Hamidi dan Asyhadri Abta juga melakukan riset dalam bidang yang sama, yakni mengumpulkan syi’iran karya para ulama yang kemudian dibubuhkan dalam “Syi’iran Kiai-Kiai”. Ada juga Muhammad Yunus Bakhtiar Rifai yang meneliti hal ini sebagai tesisnya dengan judul “Makna Tradisi Pujian Bagi Masyarakat Dusun Kajangan Kelurahan Sonorejo Kabupaten Blora (Suatu Pendekatan Antropo-Sufistik)”.[3] Tradisi ini memang menarik untuk diulas, karena sudah menjadi hal yang seperti menyatu dalam aktivitas masyarakat. Tetapi, sayangnya syair puji-pujian ini di zaman kiwari mengalami pemudaran. Banyak sebab yang melatar-belakangi terjadinya hal tersebut, termasuk hilangnya ketertarikan dan kesadaran masyarakat terhadap kandungan syair sering dikumandangkan.

Menyelami Makna Syair-Syair

Dalam kebudayaan Sunda, terdapat salah satu syair yang diberi judul “Akur Jeung Papada Batur”, liriknya seperti ini:

Ari tolab kudu akur jeung batur

silih tanya ulah sok paluhur-luhur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun