Mohon tunggu...
Timbul Nadeak
Timbul Nadeak Mohon Tunggu... -

Lahir di Medan. Suka membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Geng Motor yang Bukan “Geng.”

16 April 2012   16:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Timbul Nadeak.

Beberapa hari terakhir ini dunia pers dan masyarakat Indonesia sedang sibuk membicarakan geng motor, terutama geng motor di Jakarta. Ada yang terasa janggal, mengapa tiba-tiba jadi heboh padahal geng motor ini sudah jadi raja jalanan sekaligus raja teror sejak tahun 2009 lalu? Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane mengatakan setiap tahun 60 orang tewas di Jakarta akibat perilaku geng motor. Mereka meninggal karena kecelakaan lalu-lintas, dikeroyok, dirampok, dan dibunuh. Jadi benarkah pemicu “ledakan” teror geng motor sekarang ini karena geng motor?

Kepala Pusat Penerangan TNI AL, Laksama Untung Suropati menjelaskan, pada Sabtu (31/3/2012) tengah malam, anggota TNI AL, Kelasi Arifin berboncengan sepeda motor bersama temannya anggota TNI AL, Albert. Saat melintas di Jalan Benyamin Sueb, Arifin melihat ada seorang sopir truk yang sedang dianiaya sekelompok pemuda. Kelompok pemuda itu tak terima ditegur oleh Arifin sehingga terjadi perkelahian. Arifin lantas menjadi bulan-bulanan dan akhirnya meninggal di di rumah sakit. Sementara Albert langsung melarikan diri dan lapor ke Pomal. Keterangan yang mirip juga disampaikan oleh Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto tetapi disertai embel-embel bahwa 'Arifintengah bertugas mengawal truk tangki.'

Inilah awal terjadinya teror “geng” motor tanggal 7, 8 dan 13 April 2012 lalu.Terjadilah serangan balasan dari sejumlah orang yang menggunakan pita kuning di lengan kirinya dan corengan cat putih di pipi. Mereka menyerang anak-anak muda yang nongkrong di Tanjung Priok, Salemba, dan Jalan Pemuda.

Bagi saya jelas mereka bukan “geng” motor. Mereka adalah sekelompok orang berambut cepak yang sedang membalaskan dendam atas nama solidaritas korps. Mereka melampiaskan kemarahannya karena kecewa dan merasa dilecehkan oleh geng motor benaran. Pembalasan mereka belum tentu reda kalau 2 anggota "geng” motor ini tak ditembak oleh pengemudi Toyota Yaris yang melintas begitu cepat saat rombongan geng motor itu tengah menganiaya para pemuda di Jalan Pramuka. Korban penembakan ini ternyata anggota TNI, yaitu Sugeng Riyadi, yang mengalami luka tembak di telinga kanan, dan Prada Akbar Yudhi Aldiah, anggota Kostrad Divisi 2 Malang. Tapi dengan cepat Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto melakukan “pembelaan”: Kendati sudah dipastikan bahwa dua korban itu termasuk dalam kelompok geng motor, keduanya bisa jadi tidak terkait dengan aksi penyerangan.

Beberapa pertanyaan tentu wajar dikemukakan ke Polri. Siapa sesungguhnya pengemudi Toyota Yarris itu? Siapa saja yang ada di dalam mobil itu. Dan yang lebih mendasar adalah: Siapa pengemudi atau penumpang yang bisa menembak 2 orang dengan tepat ketika kenderaan itu sedang dikemudikan dengan kecepatan tinggi?

Polisi bisa berdalih. TNI pun bisa berdalih. Semua tentu berusaha menjaga nama baik korps masing-masing agar tak tercoreng oleh teror “geng” motor ini. Tapi semudah itukah membohongi masyarakat? Menemukan pelaku pengeroyokan terhadap Kelasi Arifin tidaklah sulit, dan bisa diduga pelakunya adalah masyarakat sipil. Tapi siapa pelaku yang harus bertanggungjawab terhadap korban-korban sipil yang teraniaya dan meninggal pada tanggal 7, 8, dan 13 April 2012 lalu? Masyarakat pasti menunggu dan bisa menduga-duga para pelakunya. Sebaiknya Polri dan TNI tidak membuat skenario untuk membohongi masyarakat,

Meskipun masalah “geng” motor ini bisa dituntaskan secara transparan dan dipahami masyarakat, Polri belum bisa tersenyum apa lagi tertawa. Akar masalahnya adalah ketidaktegasan Polri menindak pelaku-pelaku premanisme dan geng motor yang telah menewaskan masyarakat hingga 60 orang per tahun di Jakarta. Neta S Pane menambahkan, di Makassar 15 orang tewas setiap tahun akibat perilaku geng motor. Jadi Polri harus sadar dan berani mengkoreksi institusinya bahwa selama ini cara penanganan geng motor adalah salah. Geng motor yang liar dan mengancam keselamatan masyarakat tak bisa ditangani hanya sekedar dibubarkan di jalanan. Polri harus introspeksi diri bahwa “geng” motor beberapa hari terakhir ini hanya masalah di permukaan akibat masalah sebenarnya dipendam bertahun-tahun.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun