" Suatu ketika, dikisahkan terdapat seorang puteri raja yang merengek dan menangis serta meminta untuk dinikahkan dengan pujaan hatinya. Ayahnya, Sang Raja yang bijaksana tidak segera mengabulkan keinginan puterinya. Ia memberikan saran pada puterinya bahwa  ia  berjanji akan menikahkan puterinya dengan pujaan hatinya dengan satu syarat. Mereka harus  tinggal bersama dalam satu rumah  selama 1 bulan. Setelahnya, sang ayah akan menikahkannya.  Sang puteri sangat senang mendengar hal tersebut.  Singkat cerita, tinggallah ia dengan pujaan hatinya. Pada satu minggu pertama, sang puteri tampak sangat bahagia hidup bersama pujaan hatinya. Pada minggu ke dua, mulai timbul persoalan di antara mereka. Pada minggu ke tiga, permasalahan semakin memuncak. Pada minggu ke empat, sang puteri bahkan tidak ingin lagi tinggal bersama sang pujaan hatinya."
Cerita di atas saya dapatkan ketika membaca sebuah buku yang saya tidak ingat persis judulnya apa. Saya tidak akan menjelaskan artinya, namun kita, para pembaca dipersilahkan untuk menafsirkannya. Saya tergerak untuk menulis tulisan ini setelah melihat orang-orang yang seringkali disebut artis mengajukan cerai. Ini tentu bukan yang pertama kali, para artis mempertontonkan kepongahannya untuk menikah dan bercerai dengan diliput media. Pernikahan yang katanya sakral itu sudah dijadikan seperti mainan dan barang yang sesudah tidak berguna dibuang dan dibeli yang baru.Â
Selain karena hal tersebut, saya juga harus spoiler sedikit tentang kehidupan saya yang dibesarkan bukan dari keluarga cemara yang harmonis lengkap dengan panggilan abah-emak. Meskipun sebenarnya keluarga cemara juga menghadapi konflik. Â Orang tua saya pada satu momen juga pernah memutuskan untuk pisah sementara waktu. Saat itu saya masih kecil dan belum memahami penyebab terjadinya kondisi tersebut. Namun, seiring waktu saya mulai paham juga. Â Ketika itu, saya tinggal bersama ayah saya di satu wilayah, dan ibu serta kakak saya tinggal di wilayah lain. Hal tersebut terjadi selama beberapa tahun.
Setelah kembali menjadi satu keluarga, keluarga kami pun sejatinya tidak benar-benar menjadi satu kesatuan, ada banyak keributan dan  pertengkaran yang terjadi. Termasuk hal tersebut juga mempengaruhi pola didik yang saya  dapatkan. Saya berada dalam lingkungan keluarga yang mendidik dengan cara yang  tidak ideal seperti yang dianjurkan para pemerhati keluarga. Oleh karena pengalaman tersebut mendorong  saya untuk selalu menaruh perhatian maupun edukasi pada hal-hal terkait keluarga maupun terkait pola mendidik anak dalam keluarga. Tujuannya hanya satu, yaitu agar tidak banyak anak-anak yang hidup dan dibesarkan dengan keluarga yang tidak harmonis, karena hal tersebut sangat banyak mempengaruhi perkembangan kehidupan anak pada tahapan-tahapan yang dilaluinya.Â
Sekarang, kita kembali pada kasus perceraian yang semakin marak terjadi di negeri kita ini. Uniknya, kasus perceraian paling banyak terjadi di wilayah yang mayoritas masyarakatnya religius dengan sederet rumah ibadah berdiri di sana. Jika kita melihat statistik angka perceraian beberapa tahun terakhir, grafik memperlihatkan angka yang fluktuatif. Setelah pernah mengalami kenaikan sejak tahun 2015 -2019, kasus perceraian mengalami penurunan pada tahun 2020. Namun setelahnya, kembali mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2021-2022.
Â
Beberapa penyebab perceraian  yang dirangkum yaitu :
- Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus menjadi faktor perceraian tertinggi
- Alasan ekonomi,
- Ada salah satu pihak yang meninggalkan,
- Kekerasan dalam rumah tangga, hingga
- Poligami.
Dapat dilihat bahwa alasan-alasan yang di atas sesungguhnya masih sangat dangkal untuk menjawab apa penyebab dari perceraian. Saya yakin dan bahkan percaya bahwa ada hal yang lebih mendalam dari hanya sekedar hal di atas. Namun, harus disadari bahwa setiap keluarga yang bercerai memiliki alasan yang berbeda-beda. Mereka juga menghadapi satu persoalan yang berbeda-beda.
 Namun meski pun demikian, ada satu hal yang perlu kita amati , bahwa perselisihan dan pertengkaran menjadi faktor utama dalam perceraian. Tak berbeda jauh dengan kisah sang puteri raja di atas maupun jawaban kebanyakan artis di media ketika diberi pertanyaan tentang mengapa mereka memilih untuk bercerai. Jawabannya sudah bisa ditebak. Tidak cocok. Tidak sepemahaman.Â
Lantas apakah ada keluarga yang tidak mungkin bertengkar ? Jawabannya tentu saja tidak. Namun, mengapa pertengkaran harus menyebabkan perpisahan? Adakah alasan logis terhadap hal ini? Lantas seberapa efektif proses bimbingan pra nikah yang diupayakan pemerintah sebagai upaya mengurangi kasus perceraian?Â
 Mungkin, kita harus melihat dahulu beberapa tahapan yang diajukan oleh seorang konselor pernikahan bernama Dawn J Lipthrott. Ia pernah mengajukan ada 5 tahap dalam perkembangan kehidupan pernikahan.  Menariknya, hanya segelintir pasangan yang sampai pada tahap ke 5 dan sisanya berkutat pada tahap ke 2.Â
Dawn J Lipthrott : Â 5 tahap dalam perkembangan kehidupan pernikahanÂ
- Tahap 1 : Romantic Love
Ini adalah tahap pertama dalam kehidupan pernikahan. Seperti pada umumnya, bahwa hal pertama biasanya  selalu menarik. Misalnya saja  ketika kita  mendapatkan pekerjaan pertama selepas lulus. Semuanya terasa sangat mendebarkan dan membuat kita sangat antusias.  Semua terasa baik-baik saja, segala hal yang kurang baik akan kita sangkal. Kita kemudian berharap agar hal tersebut akan berjalan dengan mulus hingga selamanya. Begitu juga dalam kehidupan pernikahan. Setelah sebelumnya kita berada di fase berpacaran (bagi yang mengalami fase pacaran, mengingat beberapa ada yang berkomitmen dahulu baru kemudian berpacaran.) kini untuk pertama kalinya masuk dalam fase pernikahan. Satu sama lain kini hidup dan tinggal bersama. Â
Dalam masa pertama ini, kita akan merasa sangat antusias, hati kita penuh dengan cinta dan kita pun merasakan bahwa pasangan kita mencintai kita. Tubuh kita dipenuhi hormone Endorphin yang membuat kita dipenuhi dengan perasaan sukacita maupun perasaan bahagia. Kita dan pasangan pun melakukan perjalanan honey-moon untuk merayakan ikatan baru yang tercipta. Kita bahagia karena pasangan kita tampaknya akan membahagiakan kita selamanya.
- Tahap 2 : Â Disappointment or Distress
Masa ini seringkali disebut sebagai masa untuk bertumbuh. Salah satu ilusi dari tahap pertama yaitu ketika banyak pasangan berharap bahwa masa tersebut akan berlangsung dengan selamanya jika kita menemukan pasangan yang benar. Sering pula kita mendengar bahwa cinta akan terus tumbuh tanpa kita mengupayakannya. Ketika banyak orang pada akhirnya berhenti di tahap ini, mereka akan mulai berpikir bahwa mereka telah menikah dengan orang yang keliru. Pada momen ini, hormone endorphin sudah mulai berkurang dan karena sebelumnya kita melihat orang lain sebagai sumber kebahagiaan, kita pun mulai menyalahkannya jika sebaliknya yang terjadi.
 Pada tahap ini pula kita mulai menyalahkan pasangan kita. Kita mulai menuntutnya untuk bisa kembali menjadi sumber kebahagiaan diri kita. Kata-kata tuntutan seperti "Harusnya kamu begini agar hubungan ini kembali baik" " Harusnya kamu melakukan itu dan seterusnya". Satu sama lain saling menyalahkan dan hanya ingin mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Satu sama lain saling berupaya menjauhi pasangannya. Mereka mungkin masih bertahan hanya karena anak atau malu karena lingkungan sekitarnya.
Sayangnya, banyak pernikahan hanya sampai pada titik ini. Di titik inilah seringkali keputusan dibuat. Melanjutkan atau berpisah. Banyak pasangan tidak mampu mengendalikan dirinya dengan persoalan yang terjadi sehingga, mereka akhirnya berhenti di tahap ini. Satu sama lain mulai  mencari pasangan lainnya dan mulai mengawali tahap awal hingga akhirnya nanti akan kembali berada di tahap ini. Kita mungkin akan menemukan banyak pasangan yang sudah menikah lebih dari satu kali dan akhirnya berpisah dengan alasan yang sama. Tidak sepemahaman. Tidak satu pendapat. Tidak cocok. They have the same reason to divorce as their past marriage.
Latar belakang masing-masing pasangan akan sangat menentukan apakah mereka akan melangkah untuk ke tahap berikutnya atau berhenti pada tahap ini. Seringkali ada banyak pasangan yang menikah tanpa pernah menyembuhkan luka batin maupun hal-hal buruk yang terjadi di dalam kehidupannya lampau. Pola didik keluarga, lingkungan, akan sangat berpengaruh terhadap dirinya. Proses denial terhadap hal ini akan cukup beresiko mengingat suatu waktu akan muncul ketika terjadi pertengkaran di antara pasangan.
Selain itu, pengalaman menghadapi persoalan, proses berdamai dengan diri sendiri, dan masa lalu juga sangat penting. Semua hal ini akan sangat kelihatan ketika terjadi pertengkaran. Jika seseorang sudah memiliki citra diri yang benar, telah aman secara psikologis maka ketika terjadi perselisihan ia akan dapat menghadapinya dengan cara yang baik. Berbeda hal jika seseorang belum selesai dengan hal-hal tersebut, maka perselisihan, pertengkaran akan menjadi satu alasan untuk perpisahan.
Meskipun, kita juga harus mengakui bahwa momen penyembuhan juga bisa terjadi pada saat pernikahan berlangsung. Artinya tidak perlu harus menunggu semuanya selesai baru menikah, mengingat luka batin maupun luka masa lalu seringkali proses penyembuhannya terjadi seumur hidup dan bersama pasangan bisa saja proses penyembuhan ini menjadi lebih cepat atau bahkan bisa juga terjadi sebaliknya.
- Tahap 3 , Knowledge dan Awareness
Di tahap ini, masing-masing mulai menyadari dan mulai belajar untuk menjawab dua pertanyaan ini  : Bagaimana saya dapat menjadi pasangan yang baik? Apa tindakan maupun perilaku yang terdapat dalam diriku yang harus perbaiki agar hubungan pernikahan ini dapat berjalan dengan baik?  Di momen ini, ke aku an dan ke egoan mulai diminimalisir. Pada tahap ini, masing-masing mulai belajar mengenal dirinya sendiri, mengenal pasangannya dan juga tentang makna dari sebuah hubungan pernikahan.
Selain itu, masing-masing juga mulai memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan dan kemampuan untuk dapat melangkah bersama-sama. Pembelajaran dan pengetahuan dapat diperoleh dari cerita yang diperoleh melalui  keluarga yang sudah berpuluh tahun menjalani kehidupan pernikahan, mengikuti workshop tentang pernikahan, maupun membaca referensi tentang psikologi perempuan dan laki-laki atau juga membaca beberapa referensi yang disarankan seperti Getting the Love You Want : A Guide for Couples by Harville Hendrix. Fighting for Your Marriage : Positive Steps for Preventing Divorce and Preserving a Lasting Love by Scott Stanley, Susan L. Blumberg, Howard J. Markman, Dean S. Edell. The Truth About Love : The Highs, the Lows, and How You Can Make It Last Forever by Pat Love, Patricia Love dan referensi lainnya yang kini sudah mudah untuk diakses dan diperoleh. Â
- Tahap 4 : Â Transformation
Di momen ini, masing-masing sudah mulai mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari. Masing-masing mungkin belajr tentang komunikasi, atau tentang kebiasaan baru yang perlu diterapkan untuk membuat hubungan pernikahan semakin baik, Masing-masing mulai untuk  saling mendukung dan menciptakan ruang psikologis yang aman bagi pasangannya. Satu dengan yang lain saling menjadi pelengkap untuk mencapai tujuan dari pernikahan yang diinginkan dan bahu membahu mewujudkannya di setiap saat.
- Tahap 5 : Real Love
Tahap ini adalah masa dimana pasangan saling menaruh penghormatan satu sama lain. Masing-masing memahami bahwa pasangannya memiliki keunikan nya sendiri. Masa ini adalah masa dimana satu sama lain menjadi sahabat terbaik yang saling percaya akan kemampuan dan berusaha menolong masing-masing untuk mencapai yang terbaik dari dirinya. Untuk sampai pada tahap ini, masing-masing berusaha tidak untuk sekedar jatuh cinta dan membiarkan cinta tumbuh dengan sendirinya, namun masing-masing belajar untuk mencintai. Karena Cinta : Love, adalah kata kerja yang bermakna harus dikerjakan. Something we must have to do to get it.
Haruskah Menikah untuk Bercerai Kemudian ?
Dawn J Lipthrott sudah membantu kita melihat tahapan dalam kehidupan pernikahan. Ini masih pemahaman dasar, karena belum berbicara mengenai tahapan dalam keluarga, ataupun terkait pola asuh anak dan hal lainnya. Berbagai upaya juga sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi angka perceraian dengan melaksanakan Bimbingan Pra Nikah. Namun, tampaknya hal tersebut juga belum pernah diuji keefektifannya. Apakah melalui bimbingan tersebut masing-masing pasangan semakin mengenali dirinya? Mengetahui luka nya di masa lalu? Mengenali prinsip dirinya? Atau bagaimana ia mengenali citra dirinya sendiri?
Jika bimbingan pra nikah hanya diisi oleh ceramah dengan menggunakan dalil-dalil kitab suci tanpa pernah menelisik ke dalam diri para calon yang akan menikah maka semuanya hanya sekedar artifisial saja. Adalah niscaya bahwa semua pernikahan akan sampai pada tahap kedua yaitu masa dimana dipenuhi dengan  kekecewaan. Realita pun sudah membuktikan bahwa pertengkaran menjadi salah satu penyebab terbesar terjadinya perpisahan. Artinya proses tersebut terjadi bukan setelah menikah namun saat terjadi pernikahan, sehingga bimbingan pra nikah hanya akan percuma jika tidak ada proses berkelanjutan yang dilakukan.
Penyusunan proses bimbingan harus dilakukan mengikuti tahapan dalam kehidupan pernikahan. Bimbingan Pra nikah-saat menikah- saat memiliki anak harus menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena satu sama lain saling berpengaruh. Sayangnya, kerapkali bimbingan holistik ini terabaikan. Proses pelayanan holistic ini sama dengan konsep pelayanan life cycle yang diusung kementerian kesehatan. Bahwa semua pelayanan kesehatan harus dilakukan seperti siklus kehidupan seseorang, dari dalam kandungan, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Pun demikian dalam pernikahan, proses itu harus dilakukan holistic dan menyeluruh dari Pra, sebelum pernikahan, saat pernikahan, saat memiliki anak. Tak lain dan tak bukan, tujuannya agar angka perceraian tidak meningkat terus menerus dan kita tidak diingin dikenal sebagai negeri religius, beratus ribu rumah ibadah namun disisi lain juga tinggi dengan kasus perceraian.
Sumber
https://dataindonesia.id/ragam/detail/ada-516344-kasus-perceraian-di-indonesia-pada-2022
https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-55284729
http://ldysinger.stjohnsem.edu/THM_544_Marriage/06b_Stages/03_lipthrott.htm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H