Mohon tunggu...
Nisrina Nuraini
Nisrina Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad, angkatan 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dobrak Stigma Profesi Lewat "Young Farmer Farm"

27 Desember 2022   17:27 Diperbarui: 27 Desember 2022   17:38 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bak air susu dibalas air tuba, presensi petani dan urgensi profesinya nampak tak selaras dengan perbandingan seberapa banyak kebutuhan pangan masyarakat Indonesia terhadap beras dan nasi. 

Kehidupan petani terlihat masih belum menjadi bagian penting bagi warga masyarakat di dalam negeri, khususnya di daerah Kecamatan Jatinangor dan sekitarnya.  Hal ini pun ternyata dirasakan oleh satu lingkup profesi lainnya yang sama-sama memproduksi bahan pangan di negeri ini, yakni peternak.

Sisi kehidupan petani dan peternak bagaikan dua sisi mata uang, sama-sama mengemban beban yang cukup berat, tanggung jawab yang berkaitan langsung dengan pangan, tetapi di sisi lain masih dianggap sebelah mata oleh khalayak umum. 

Saat ditemui di kandangnya, salah seorang CEO dari Gerakan Peternak Muda yang kemudian di branding ulang dengan sebutan "Young Farmer Farm," Rizky Prasetiadi atau yang sering dipanggil akrab dengan Ikiw menjelaskan bahwa, sebanyak 90% dari peternak dan petani di masa kini itu sudah tidak termasuk dalam usia yang produktif.

Hal ini kemudian menjadi inti dari permasalahan yang sering digaungkan, tak lain dan tak bukan adalah kurangnya inisiatif para pemuda untuk mengembangkan sisi regenerasi dan ketertarikan dari bidang pertanian serta peternakan.

Ikiw menambahkan, "Kalo dibilang semakin ditinggalkan, memang, iya. Karena stigma itu sudah melekat di dalam cakupan masyarakat, khususnya ya untuk peternak dan petani itu merupakan pekerjaan yang orang banyak mengira, masuk ke dalam kategori kelas ekonomi menengah ke bawah, gitu. Saya pernah mengalami langsung stigma yang seperti itu."

Walaupun Pemprov Jabar nyatanya sudah berusaha mengupayakan kinerjanya dalam pembentukan program "Petani Millenial," dan ikhtiar Ikiw dalam membangun rumah peternakan serta kandang domba di dekat wilayah Cileunyi dan Cibiru, Bandung, hal tersebut nyatanya masih dirasa "kurang nendang" untuk membuat masyarakat melek akan berkurangnya regenerasi petani dan peternak di era digital sekarang.

Dalam analisisnya, Ikiw sebagai pemilik rumah peternakan "Young Farmer Farm" ini mengakui jika stigma dalam profesinya cukup besar di awal-awal ia merintis usaha ini. Stigma yang diciptakan itu berasal dari asumsi masyarakat yang kebanyakan adalah orang-orang dari luar dunia pertanian dan peternakan. Mereka hanya bisa menduga-duga, tanpa mau berusaha untuk mengerti dan mencoba bidang ini. 

Ikiw memaparkan jika stigma yang sering ia dengar semenjak ia berkuliah dan menekuni bidang peternakan di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran semenjak tahun 2010 lalu, ia kerap kali mendengar orang-orang berasumsi bahwa khususnya bagi kalangan peternak dan petani itu pasti akan bekerja di lingkungan yang sifatnya bau, kumuh, dan kotor, tidak higienis dan tidak rapi pemeliharaannya.

Dari sana lah ia kemudian mulai gigih untuk membuktikan bahwa stigma tersebut tidak benar adanya. Strateginya demi menciptakan rumah peternakan "Young Farmer Farm," berlandaskan dengan nilai inovasi dan kreativitas, di mana peternak dan petani bisa menjadi pionir dan pahlawan kehidupan demi terciptanya ketahanan pangan dari segi produksi karbohidrat dan protein hewani. 

Selain inovasi branding yang ia ciptakan ulang dengan mengemas kandang yang bersih, pakan yang berasal dari pertanian mandirinya (rumput-rumputan yang diolah dengan apik melalui proses yang panjang dan higienis bagi pakan hewan ternaknya), Ikiw optimis jika gerakan peternak dan petani muda ini bisa mulai disebarluaskan secara masif karena urgensinya jelas dan terarah.

Selain Ikiw, salah satu narasumber yang kami temui pada bulan November di Desa Hegarmanah, Kecamatan Jatinangor pun angkat bicara, jika stigma dalam profesi pertanian bisa datang kapan saja dan menyerang dari arah mana saja. Salah satu yang E rasakan adalah lemahnya ilmu pengetahuannya tentang profesi lain, manakala menjadi petani penggarap lahan merupakan profesi yang paling mudah ia kerjakan di masa tua sekarang.

Kurangnya adaptasi terhadap teknologi dan latar belakang pendidikan yang terbatas membuat E hidup secukupnya dengan upah seadanya melalui bidang tani. Ia terus-menerus melakukan hal tersebut demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan mengisi waktu luangnya kini. Ia mengaku sudah hampir kebingungan untuk memilih profesi serabutan mana lagi yang harus ia cari dan kerjakan, selain satu-satunya tempat bergantung, yakni bertani, walau lahan yang ia garap bukan miliknya sekali pun, ia tidak apa-apa.

Menurut penuturan E, "Latar Pendidikan saya tidak cukup memenuhi kriteria untuk melamar pekerjaan selain menjadi seorang petani, ditambah umur saya juga yang sudah tua. Walaupun ya sebenarnya mah saya juga pengen alih profesi, tetapi tidak bisa."

Jika menelaah dari sudut pandang Ikiw, ia masih mempunyai sisi optimis dalam dirinya. Ikiw juga masih mempunyai banyak proyeksi dan rencana di masa depan yang dijamin bisa meningkatkan minat peternak dan petani muda untuk lebih banyak berkontribusi bagi negeri. 

Salah satu cara yang diandalkan adalah harus adanya treatment pendekatan ulang ke arah para pemuda di masa kini yang mulai tertarik dengan bidang peternakan dan pertanian. Menurutnya, program dari Pemprov Jabar tentang petani millennial bisa menjadi stimulus utama yang baik untuk menarik minat para generasi muda.

"Hal-hal demikian seperti adanya Petani Millennial, lalu disambung oleh saya yang mencoba mendirikan rumah peternakan, saya rasa itu bisa memberikan informasi bahwa peternak dan petani bisa dijadikan mata pencaharian dan mencukupi kebutuhan kita. Hanya saja, hal ini harus kita kembangkan lagi strateginya supaya semakin kuat menarik atensi dan minat para pemuda." Tutur Ikiw, menjelaskan.

Selain bentuk sosialisasi dan program yang menarik dari kedua bidang tersebut, peran serta jurnalis pun sebaiknya ditingkatkan dalam hal publikasi kepada khalayak, supaya semakin banyak kalangan masyarakat yang mengetahui dan mencari tahu lebih banyak lagi, sebagaimana fungsi pers menurut Laswell, yakni to inform & to educate.

Bidang media massa dan jurnalistik harus bisa mendukung dan terus menerus menerbitkan karya-karya perkembangan program kekinian (update) dari bidang pertanian maupun peternakan supaya isu ini bisa terus diolah agar masyarakat sadar bahwa stigma tentang petani dan peternak di masa kini bisa diminimalisir karena regenerasi terbukti bisa membuahkan hasil dengan adanya bentuk gerakan-gerakan petani dan peternak muda yang semakin inovatif dan kreatif demi menjaga ketahanan pangan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun