Mohon tunggu...
Nisrina Nuraini
Nisrina Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad, angkatan 2020.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stigma Nyelekit, Regenerasi Petani Jadi Sulit

16 Desember 2022   21:24 Diperbarui: 30 Desember 2022   10:43 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketahanan pangan menjadi topik terkini yang sering digaungkan oleh publik semenjak terjadinya konflik perang antara Ukraina dan Rusia yang semakin hari semakin memanas sejak bulan Maret 2022. Dalam cakupan definisinya, berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2012, ketahanan pangan merupakan sebuah kondisi ideal ketika terpenuhinya aspek ketersediaan pangan dalam suatu cakupan negara sampai dengan penduduknya, dihitung dalam hal perorangan, yang salah satu faktor pendukungnya yaitu adanya urgensi ketersediaan pangan yang mencakup nilai mutu dan gizi, sifatnya harus merata serta terjangkau dan bisa diproduksi secara berkelanjutan. 

Dalam realitanya, untuk mewujudkan ketahanan pangan yang sustainable, pasti dibutuhkan produksi bahan pangan yang seimbang dan terjadi secara kontinyu. Hal ini berkaitan dengan peran petani di masyarakat umum. Petani acapkali dianggap sebagai profesi masyarakat yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah dan kesejahteraannya kerap kali masih dipertanyakan. 

Walaupun dari zaman dahulu kala, petani sudah dikenal sebagai elemen terpenting dalam mewujudkan hasil pangan yang mumpuni dan menjadi tombak utama sumber pangan, khususnya di Indonesia. Bahkan, Ir. Soekarno pun pernah menyebutkan bahwa "Soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa." yang mengimplementasikan bahwa presensi pangan dalam suatu negara memang penting adanya.  Namun, stigma di masyarakat masih terus berkembang seiring majunya proses perkembangan zaman.

Dilansir dari Sari Agri, stigma negatif pada petani memang semakin merajalela dimana-mana, bahkan hal ini juga akan terus berdampak pada aspek regenerasi petani usia muda yang berkurang di masa depan nanti. Said Abdullah sebagai Koordinator dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan jika stigma negatif ini akan terus bergulir seiring berjalannya waktu karena anak muda pun terbawa arus stigma tersebut. "Dari waktu ke waktu kehidupan dan profil petani tidak berubah. 

Sementara di sisi lain, budaya dan modernitas makin berubah dan maju, tetapi dunia pertanian jalan di tempat," ucap Said. Di sisi lain, menjadi seorang petani memang memiliki banyak konsekuensi yang harus dihadapi, salah satunya adalah profesi pertanian yang identik dengan pekerjaan kotor dan berlumpur di tengah teriknya sinar matahari pada waktu siang.

Opini dan stigma untuk meningkatkan latar belakang pendidikan yang lebih baik pun semakin digencarkan karena anak muda zaman sekarang tidak mau terjun ke dunia pertanian, sehingga menganggap bahwa semua petani biasanya mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah dari standar umum sosial. Hal ini dibenarkan oleh salah satu narasumber yang kami temui dan tidak mau disebutkan namanya. Menurut penuturan E, "Latar Pendidikan saya tidak cukup memenuhi kriteria untuk melamar pekerjaan selain menjadi seorang petani, ditambah umur saya juga yang sudah tua. Walaupun ya sebenarnya mah saya juga pengen alih profesi, tetapi tidak bisa." 

Dalam sesi wawancara, E melanjutkan bahwa alasan kuat ia ingin beralih profesi yakni karena minimnya kesejahteraan petani itu memang benar adanya. Sejak dua puluh tahun yang lalu ia bekerja sebagai petani penggarap di salah satu lahan Desa Hegarmanah, Jatinangor, ia menyebutkan bahwa hasil pendapatan dari pertanian hanya bisa memenuhi kebutuhan makan untuk sehari-hari saja, belum bisa mengcover kebutuhan rumah tangga yang lain. E menambahkan, ia merasa bahwa semua jerih payahnya selama ini terasa sia-sia jika hasil yang ia dapat masih tidak sepadan dengan realita yang ada. 

E menjelaskan secara detail kepada kami, bagaimana sistem bagi hasil panen di lahan pertanian yang ia kelola hingga saat ini. Hal ini  disebut sebagai "win-win solution" antara petani penggarap dengan sang pemilik lahan sawah, "Jadi, namanya sistem Maro. Misalnya, lahan sawahnya berukuran sekitar 100 hektar, maka hasil panen yang didapat pasti akan sebanyak 5 kwintal. Nah, nanti bagi hasilnya itu 2,5 kwintal masing-masing aja gitu untuk petani penggarap dan untuk pemilik lahan." E mengaku tidak pernah "diberi secara cuma-cuma" hasil panen dari lahan yang ia garap, ia berandai-andai, mungkin hidupnya sudah sejahtera jika terus diberi bonus hasil panen oleh sang pemilik lahan.

Bak buah simalakama, kenyataan pahit menjadi petani penggarap tidak sampai disitu saja. Belum cukup ditekan oleh biaya panen yang membutuhkan cakupan pupuk yang harganya naik sepanjang waktu, seorang petani penggarap pun memiliki beban tanggung jawab yang besar karena harus berhadapan dengan hama yang tak kunjung hentinya datang. "Biasanya kalo sudah sore, suka banyak burung yang menyerang ladang. Kalo dari bagian bawah, suka ada banyak tikus." 

Dilematisasi ini juga bukannya meringankan beban petani penggarap lahan sawah, tetapi membuat mereka harus selalu siap untuk memutar otak demi menjaga stabilitas lahan pertanian dan tidak merusak kepercayaan yang telah diberikan oleh pihak pemilik lahan sawahnya. 

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa itu cocok untuk mendefinisikan ketimpangan antara stigma petani penggarap padi dengan petani penggarap cabai di masa kini. Seperti yang dialami oleh Ayi, petani penggarap cabai di Desa Hegarmanah, Kecamatan  Jatinangor, malah mendapatkan stigma positif dari orang sekitarnya. Dalam penuturannya, Ayi menyebutkan, "Alhamdulillah malah bukan disepelekan, tapi disangka banyak uang, karena petani cabai kan beda sama petani padi.

Petani cabai kalau 100 tumbak modalnya sudah yakin 15 juta. Kalo dari tetangga, menyangka bapak punya banyak uang karena modal menanam cabai menghabiskan biaya hingga belasan juta rupiah. Kalau dari keluarga ya biasa aja soalnya udah tau juga." Walaupun demikian, stigma positif tidak berbanding lurus dengan kenyataan pahit petani cabai yang harus selalu memiliki modal lebih besar daripada petani lain. 

Modal yang Ayi keluarkan lebih banyak ia habiskan pada pembelian pupuk dan obat-obatan anti hama bagi cabai. Hambatan mencuat pada saat lonjakan harga pupuk sudah dirasa tidak masuk akal. Ayi menyebutkan bahwa fenomena ini tidak layak disebut sebagai "kenaikan" harga, tetapi sesungguhnya "pindah" harga ke jangkauan harga yang terlalu melonjak tinggi. "Sudah dua tahun saya menanam cabai, asalnya pupuk berada di kisaran harga Rp. 500.000, itu buat pupuk NPK 1616. Sekarang harganya sudah naik cukup tinggi, berada di kisaran harga Rp. 850.000. Sedangkan untuk pupuk jenis Urea sendiri awalnya Rp. 90.000, sekarang naik jadi Rp. 135.000." 

Menurut Ayi, fenomena kenaikan harga pupuk ini bukan dialami oleh dirinya saja sebagai pengelola lahan cabai, tetapi hampir semua petani penggarap yang lain pun merasakannya. Ibarat besar pasak daripada tiang, pengeluarannya (modal) demi mengejar panen yang optimal tidak sebanding dengan pendapatan panen yang ia dapatkan. Misalnya, Ayi sudah menghabiskan modal untuk menanam cabai ini sebesar sembilan belas juta rupiah, tetapi hasil yang didapatkan hanya sebesar dua belas juta rupiah untuk ukuran lahan 250 tumbak cabai. 

Belum lagi cuaca yang fluktuatif juga bisa mempengaruhi jenis ketahanan dan hasil panen tanaman cabai. Jika musim hujan cabai akan rontok meskipun sudah diatasi dengan obat atau vitamin khusus, kualitas ketahanan dari panen cabai akan berbeda jika ditanam pada musim kemarau. 

Pada akhirnya, jika ingin mempunyai keuntungan yang berlipat ganda, Ayi harus berusaha lebih keras lagi dengan cara mencari sumber alternatif di lahan sewaan tanaman atau tumbuhan pertanian lainnya. Misalnya, selain mengelola lahan cabai, Ayi juga mengelola lahan sayuran seperti brokoli, kol, bahkan hingga ubi cilembu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun