Mohon tunggu...
Nisrina Nuraini
Nisrina Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad, angkatan 2020.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stigma Nyelekit, Regenerasi Petani Jadi Sulit

16 Desember 2022   21:24 Diperbarui: 30 Desember 2022   10:43 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petani cabai kalau 100 tumbak modalnya sudah yakin 15 juta. Kalo dari tetangga, menyangka bapak punya banyak uang karena modal menanam cabai menghabiskan biaya hingga belasan juta rupiah. Kalau dari keluarga ya biasa aja soalnya udah tau juga." Walaupun demikian, stigma positif tidak berbanding lurus dengan kenyataan pahit petani cabai yang harus selalu memiliki modal lebih besar daripada petani lain. 

Modal yang Ayi keluarkan lebih banyak ia habiskan pada pembelian pupuk dan obat-obatan anti hama bagi cabai. Hambatan mencuat pada saat lonjakan harga pupuk sudah dirasa tidak masuk akal. Ayi menyebutkan bahwa fenomena ini tidak layak disebut sebagai "kenaikan" harga, tetapi sesungguhnya "pindah" harga ke jangkauan harga yang terlalu melonjak tinggi. "Sudah dua tahun saya menanam cabai, asalnya pupuk berada di kisaran harga Rp. 500.000, itu buat pupuk NPK 1616. Sekarang harganya sudah naik cukup tinggi, berada di kisaran harga Rp. 850.000. Sedangkan untuk pupuk jenis Urea sendiri awalnya Rp. 90.000, sekarang naik jadi Rp. 135.000." 

Menurut Ayi, fenomena kenaikan harga pupuk ini bukan dialami oleh dirinya saja sebagai pengelola lahan cabai, tetapi hampir semua petani penggarap yang lain pun merasakannya. Ibarat besar pasak daripada tiang, pengeluarannya (modal) demi mengejar panen yang optimal tidak sebanding dengan pendapatan panen yang ia dapatkan. Misalnya, Ayi sudah menghabiskan modal untuk menanam cabai ini sebesar sembilan belas juta rupiah, tetapi hasil yang didapatkan hanya sebesar dua belas juta rupiah untuk ukuran lahan 250 tumbak cabai. 

Belum lagi cuaca yang fluktuatif juga bisa mempengaruhi jenis ketahanan dan hasil panen tanaman cabai. Jika musim hujan cabai akan rontok meskipun sudah diatasi dengan obat atau vitamin khusus, kualitas ketahanan dari panen cabai akan berbeda jika ditanam pada musim kemarau. 

Pada akhirnya, jika ingin mempunyai keuntungan yang berlipat ganda, Ayi harus berusaha lebih keras lagi dengan cara mencari sumber alternatif di lahan sewaan tanaman atau tumbuhan pertanian lainnya. Misalnya, selain mengelola lahan cabai, Ayi juga mengelola lahan sayuran seperti brokoli, kol, bahkan hingga ubi cilembu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun