"Apresiasi kepada Pemerintah Indonesia bahwa umat Katolik yang sedikit mendapat kebebasan beribadah. Juga ingin belajar bagaimana negara sangat beragam ini (bisa bersatu). Salah satu tujuan Paus ke Indonesia," kata Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci (Vatikan) Michael Trias Kuncahyono di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Sebagai informasi, data dari Kementerian Dalam Negeri pada Juni 2024, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam mencapai 245,93 juta jiwa (87,08%) dari total populasi; beragama Kristen 29.579.316 jiwa (10,47%: 7,40% Protestan dan 3,06% Katolik); Hindu 4.744.543 jiwa (1,68%); Buddha 2.004.352 jiwa (0,71%); Khonghucu 76.636 (0,03%), Kepercayaan: 98.822 (0,03%).
Jawab Kritik Tritunggal
Jawaban pertama sudah dijabarkan bagaimana "kekakuan" liturgi Katolik yang dikritik justru menjadi kunci antusiasnya Indonesia menyambut Paus, bukan hanya umat Katolik saja. Ada jawaban keduanya yang juga tak luput dari banyak kritik, yakni Teologi Tritunggal.
Sederhananya begini, antusiasme kita menyambut kedatangan Paus Fransiskus merupakan bentuk konkret penghayatan teologi Allah Bapa. Yesus kerap menyebut Tuhan sebagai Bapa ingin menunjukkan kepada umatnya bahwa ada jalinan kasih dua arah. Yakni, bagaimana Tuhan begitu mencintai umat-Nya dan sebaliknya diharapkan umatnya mencintai Tuhan layaknya hubungan bapak dan anaknya.
Umat Katolik Indonesia seperti anak-anak yang sudah lama tidak dikunjungi bapaknya. Saat bapak yang dirindukan datang maka meluaplah sukacita tersebut. "Seperti anak mengharapkan kehadiran seorang bapak, demikian umat Katolik di Indonesia mengharapkan kehadiran pimpinannya," ujar Kardinal Ignatius Suharyo yang juga Uskup Agung Jakarta saat konferensi pers Kunjungan Paus Fransiskus di Kantor KWI, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Agustus 2024.
Teologi Tritunggal bukanlah teologi awang-awang yang menjadi santapan harian para teolog. Juga bukan teologi yang bisa menjadi olokan banyak pihak karena diplesetkan sebagai penyembang banyak tuhan. Lewat kesederhanaan mantan Uskup Agung Buenos Aires, Argentina itu, kita bisa menghayati secara konkret relasi Tuhan kepada umat-Nya. Tuhan ingin diperlakukan sebagai ayah yang dirindukan anaknya, dekat dengan anaknya, dan mencintai dengan tulus.
Relasi Tuhan dan umat yang begitu dekat itu tampak dari kehadiran Paus ke Indonesia. Paus menggunakan fasilitas yang dipakai kebanyakan orang misalnya, naik pesawat komersial, mobil penjumput adalah kendaraan yang dipakai banyak orang Indonesia, dia duduk di depan bersama sopir, tidak tidur di hotel, dan berpesan bahwa mobil dan kursi yang akan dipakai saat misa dibuat sederhana. Dan kita sebagai anak sudah dan akan menyerukan "Viva il Papa! Viva Papa Francesco" kepada Paus yang kita hayati sebagai bapak kita.
Apa yang dilakukan oleh Paus ini mengarah pada himbauan bahwa untuk menjadi suci itu tidak harus melalui jalan ekstrem. Jalan menuju Tuhan itu sesederhana kita menyebut Tuhan sebagai Bapa, caranya seperti yang ia tawarkan dalam "Lima Jalan Menuju Kekudusan" menurut "Gaudete Et Exsultate." Yakni Seruan Apostolik Paus Fransiskus Mengenai Kekudusan Dalam Dunia Modern.
Satu prinsip yang harus kita pegang, untuk menjadi kudus adalah menjadi diri sendiri. Tidak perlu meniru orang lain. Thomas Merton, biarawan Trappist Amerika, berkata, "Bagi saya menjadi orang suci berarti menjadi diri saya sendiri."
Dalam Gaudete Et Exsultate, Paus berkata, "Kita sering tergoda untuk berpikir bahwa kekudusan hanya untuk mereka yang dapat menarik diri dari urusan sehari-hari untuk meluangkan banyak waktu dalam doa, itu tidak benar. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menjalani hidup kita dengan kasih dan dengan memberikan kesaksian dalam segala hal yang kita lakukan, di mana pun kita berada."