Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kedatangan Paus Seperti Sedang Menerapkan Pancasila

3 September 2024   14:34 Diperbarui: 3 September 2024   17:37 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paus Fransiskus datang ke Indonesia, Selasa, 3 September 2024. Peristiwa ini sekilas biasa, seperti kedatangan pemimpin negara lain. Tapi, penyambutan Paus berbeda karena begitu meriah.

Ada dua status Paus yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu. Selain sebagai pemimpin umat Katolik sedunia, Paus juga menjadi Kepala Negara Vatikan. Jika kita menilik dua status ini, saya pikir tidak ada pemimpin dunia manapun yang disambut meriah saat datang ke Indonesia.

Pemimpin dunia yang saya maksud adalah kepala negara, pemimpin agama, pemimpin sebuah lembaga atau institusi baik pemerintah maupun swasta. Rasanya tidak ada penyambutan yang semeriah Paus Fransiskus. Gaung menjelang kedatangannya sudah terdengar santer. Saat kedatangannya pun ditayangkan secara langsung oleh beberapa televisi nasional.

Kedatangan Paus Gereja Katolik ke-266 yang seperti itu membuat saya berpikir, "Apa yang membuat kedatangan pemimpin 1,3 miliar penganut Katolik dunia itu menyedot banyak perhatian?"

Jawaban pertamanya, adalah berkat "kekakuan" liturgi Katolik! Katolik kerap mendapat kritik, termasuk dari internal, bahwa liturginya begitu kaku. Banyak umat mengeluh saat Misa bosan dan mengantuk. Kalau di Katolik semua diatur, banyak batasan-batasan, dan seterusnya.

Namun, "kekakuan" itulah yang membuat kita tetap bersatu menjadi sebuah organisasi yang solid sampai detik ini. "Kekakuan" itu juga yang membuat kita nyaman saat merayakan Ekaristi di tanah asing, yang bahasanya kita tidak mengerti. Dan tentu "kekakuan" yang sama menjadi pendorong bagi kita semua antusias menyambut Paus Fransiskus yang terpilih pada 13 Maret 2013.

Dengan sengaja saya memberi tanda petik pada kata kekakuan. Karena senyatanya Gereja Katolik tidak sekaku yang banyak orang pikir. Kalau kita mau sedikit saja berpikir obyektif, Katolik adalah satu-satunya agama yang sangat terbuka, toleran, dan progresif. Agama mana di Indonesia yang bisa memberikan dispensasi menikah beda agama? Agama mana yang secara terbuka menerima kaum LGBT walau tidak mengizinkan pernikahan sejenis? Agama mana juga yang secara terbuka menyatakan mereka yang tidak mengakui Tuhan bisa masuk surga?

Jika kita melihat ke dalam, Gereja Katolik juga terbuka pada banyak devosi. Kita memang sangat ketat soal liturgi dan dogma. Tetapi di sisi lain kita menerima begitu banyak devosi yang kebanyakan lahir dari gerakan umat. Sebagai contoh, doa rosario sebagai devosi kepada Maria, ragam novena, penghormatan kepada Santo dan Santa, Persekutuan Doa Kharismatik, bahkan untuk penganut Kejawen pun ada tempat di Gereja Katolik. Apakah ada agama lain yang seperti ini?

Dalam refleksi saya bisa menyebut bahwa Gereja Katolik adalah tempat paling konkret Pancasila tumbuh. Pancasila di sini diartikan sebagai prinsip tunggal yang menyatukan berbagai perbedaan yang ada di dalamnya. Prinsip tunggalnya adalah Tuhan Yesus. Dari Tuhan Yesus inilah mengalir Liturgi Ekaristi yang menjadi warisan-Nya. Berkat Cinta-Nya yang tak terbatas, dari Liturgi mengalirlah berbagai devosi, kelompok doa, dan komunitas yang semuanya beraktivitas atas dasar Tuhan Yesus dan kembali kepada Dia sebagai sumber kekuatan. Walaupun berbeda-beda namun tetap satu berlandaskan pada Tuhan Yesus dan menyebarkan Cinta Kasih.

"Pancasila" yang dihidupi secara internal dalam Gereja Katolik ternyata punya wajah yang paling menantang dalam hidup bernegara di Republik Indonesia. Pancasila besutan Bung Karno ini berhasil menyatukan 283 juta lebih penduduk Indonesia yang tersebar lebih dari 17.000 pulau. Pancasila juga menyatukan 6 agama dan aliran kepercayaan dan sekitar 93 bahasa daerah. Tampak sekali bagaimana Pancasila Indonesia jauh lebih sakti dibandingkan dengan "Pancasila" yang menyatukan internal Gereja Katolik.

Itulah mengapa, salah satu tujuan Paus Fransiskus ke Indonesia adalah ingin belajar bagaimana caranya Pancasila mampu mengelola keberagaman di Tanah Air. Selain itu, Paus juga ingin mengucapkan banyak terima kasih ke Pemerintah Indonesia karena telah melindungi dan memberikan kebebasan beragama bagi umat Katolik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun