Pemerintah memberi lampu hijau bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola lahan tambang. Banyak pihak, termasuk ormas, mulai memberi tanggapan. Satu yang layak dinanti adalah sikap ormas Katolik.
Dasar hukum yang terbilang kontroversial ini adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
"Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan," bunyi pasal 83A ayat (1) beleid yang ditandatangani Presiden Joko Widodo itu, 30 Mei 2024.
PP ini merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal berbeda tampak terlihat di Pasal 83A ayat 1, "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan."
"IUPK dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan Menteri," bunyi Pasal 83A ayat 3.
Masih ada beberapa pasal lainnya yang merinci bagaimana ormas keagamaan diberi peluang untuk menimba cuan dari tambang. Jika kita membaca media, ada ormas keagamaan yang telah menyatakan sikapnya. Kita juga bisa mendengar bagaimana suara dari akademisi, aktivis lingkungan, bahkan pendapat dari unsur pemerintah. Â Â
Menarik bagi kita untuk menanti sikap ormas keagamaan yang belum bersuara. Terlebih, banyak ajaran agama mengatur bagaimana perilaku umatnya terhadap alam semesta. Sekarang, ajaran tersebut mendapat tantangan ketika pemerintah memberi tawaran untuk mengelola alam. Kata "mengelola" harus dikritisi karena menjadi diksi yang dipilih untuk memperhalus makna sesungguhnya yakni merusak alam.
Merusak adalah kata yang tepat. Walau ada istilah reboisasi atau revitalisasi tambang, tetap saja alam telah dinodai oleh alat berat dan bahan kimia. Ada dampak lingkungan yang tidak bisa dikembalikan, misalnya tingkat kesuburan lahan, jenis tanaman atau heman endemik yang terusir atau bahkan punah, dan hidup masyarakat sekitar. Ini belum bicara dampak luasnya secara nasional dan global.
Patut dicatat, tawaran pemerintah ini bertepatan dengan viralnya poster bertuliskan "All Eyes on Papua" yang ramai beredar di media sosial, terutama X dan Instagram. All Eyes on Papua merupakan simbol teriakan masyarakat adat Awyu dan Moi di Papua yang hutannya dihabisi oleh pengusaha kelapa sawit.
Berdasarkan catatan Kompas.id, Senin (27/5/2024), hutan masyarakat Awyu memang sudah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Proyek tersebut dioperasikan oleh tujuh perusahaan, yakni PT MJR, PT KCP, PT GKM, PT ESK, PT TKU, PT MSM, dan PT NUM. Tak hanya itu, pemerintah provinsi juga mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.
Sekarang kita bayangkan, bagaimana ormas keagamaan yang dekat dengan ajaran menjaga lingkungan dari perspektif teologi, pada akhirnya membuat alam menangis. Di satu sisi, mereka juga punya panggilan kenabian untuk membela masyarakat Papua yang hak asasinya dilindas buldozer. Hutan yang dialihfungsikan oleh pengusaha atas restu pemerintah itu telah mencabut hak mereka untuk hidup, tinggal, berkumpul, dilindungi hukum, dan sederet hak lainnya.