Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Menjadi Ayah dari SBY dan Jokowi

31 Januari 2024   09:00 Diperbarui: 31 Januari 2024   17:04 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hubungan ayah dan anaknya (Sumber: Freepik)

Rasanya tidak ada yang membantah, setiap orang tua ingin yang terbaik bagi anaknya. Namun tanpa disadari, keinginan orang tua itu belum tentu sejalan dengan cita-cita anaknya.

Orang tua yang sukses, ingin anaknya lebih sukses. Kegagalan yang dirasakan orang tua menjadi peringatan supaya anaknya tidak merasakan hal itu. Intinya, anak di mata orang tua harus sukses, sehat, kalau memungkinkan terkenal, bahagia, dan tentunya membanggakan.

Setidaknya ada 3 alasan yang mendorong orang tua terkadang memaksakan ambisi pada anak. Pertama, cita-cita orang tua, entah Ayah atau Ibu belum tercapai. Kedua, memandang rendah beberapa profesi. Ketiga, orang tua ingin profesinya diteruskan oleh anak.

Cita-cita yang gagal, membuat beberapa orang tua menitipkan ambisinya itu kepada anak mereka. Misalnya, dulu orang tua ingin sekali menjadi dokter. Namun, karena keterbatasan biaya cita-cita tersebut tidak pernah terwujud. Saat menjadi orang tua dan memiliki uang yang cukup, ia mengarahkan anaknya untuk menjadi seorang dokter.

Bisa saja orang tua tidak mengatakan bahwa dirinya dulu ingin menjadi dokter. Sang anak diyakinkan bahwa dokter adalah profesi yang menjanjikan untuk masa depan. Dengan menjadi dokter, anak bisa menolong banyak orang. Dan sederet alasan baik lainnya untuk menutupi ambisi orang tua. 

Jamak kita jumpai, masih ada orang tua yang merehkan beberapa profesi. Yang paling umum adalah menjadi seniman. Beberapa orang tua tidak ingin anaknya menjadi pelukis, penyanyi, atau seniman lainnya. Mereka memandang profesi ini tidak memberi hidup yang mapan. Orang tua sekuat tenaga meyakinkan dan melarang anaknya, jika mulai menunjukkan minat di bidang seni.

Selanjutnya, motiviasi meneruskan profesi orang tua juga kerap kita dengar. Orang tua yang adalah dokter umumnya ingin anaknya juga menjadi dokter. Anak diarahkan menjadi pengacara, karena orang tuanya adalah pengacara. Bahkan mungkin kakek dan kakek buyutnya juga seorang pengacara.  

Ragam alasan melandasi orang tua untuk mengarahkan profesi anaknya, tampaknya tidak ada yang salah. Namun, sejatinya itu semua disampaikan dari sudut pandang tunggal. Yaitu, menurut orang tua. Bukan menurut anak. Padahal, yang menjalani adalah anak.

Hubungan orang tua dan anak terkait profesi menarik untuk dicermati. Tidak jarang konflik keluarga punya pangkal di sini. Hal ini semakin menarik ketika pola tersebut tercermin pada keluarga yang menjadi tokoh nasional. Mari kita lihat, hubungan antara Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, M.A., atau SBY dengan anaknya Mayor Inf. (Purn.) H. Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., M.P.A., M.A. alias AHY.

SBY adalah Presiden Indonesia keenam yang menjabat sejak 20 Oktober 2004 sampai 20 Oktober 2014. Setelah dia lengser, Partai Demokrat yang didirikannya tidak punya tokoh yang kuat. Bahkan partai harus menyelenggarakan konvensi untuk menjaring calon presiden pada 2013 untuk diusung pada pemilihan umum Presiden Indonesia 2014. Alhasil, Partai Demokrat justru memberikan dukungan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Keduanya bukan datang dari Partai Demokrat.

Pasca Pilpres 2014, hajatan politik terpusat pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Setahun sebelum pemilihan, publik dikejutkan dengan mundurnya AHY dari TNI. Surat pengunduran diri AHY dilayangkan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pada Jumat, 23 September 2016.  

Dalam banyak kesempatan, Gatot menyayangkan keputusan AHY. Terlebih AHY yang memperoleh predikat Adhi Makayasa, dinilai sebagai prajurit yang unggul dalam hal mental, fisik, dan intelektual. Bahkan, menurut Gatot, AHY dipersiapkan untuk masuk dalam kandidat pimpinan TNI masa depan.

AHY yang kini berusia 45 tahun pun mantap terjun sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta didampingi Sylviana Murni. Keduanya mendapatkan dukungan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sayangnya, AHY -- Sylvi harus berbesar hati karena kalah dari pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Juga kalah dari Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.  

Di kancah politik, AHY nyaman menjadi Ketua Partai Demokrat. Menghadapi Pelpres 2024, Partai Demokrat mengusung AHY sebagai capres. Setelah melewati dinamika politik, AHY pada akhirnya masuk dalam tim pemenangan Capres Prabowo dan Cawapres Gibran. Padahal sebelumnya AHY sempat kuat disebut menjadi kandidat cawapresnya Anies Baswedan. 

Mirip dengan SBY dan AHY, hubungan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan anaknya K. P. H. Gibran Rakabuming Raka, B.Sc. juga soal profesi anak. Gibran yang baru menjabat sebagai Wali Kota Surakarta sejak Februari 2021 sudah dicalonkan sebagai cawapres.

Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Capres Prabowo, secara resmi mengumumkan bahwa putra sulung Jokowi itu dipilih sebagai cawapresnya pada Minggu, 22 Oktober 2023. Tentu kita belum tahu apakah Prabowo-Gibran mampu menang pada Pilpres 2024 ini.

Bukan isu siapa yang menang yang menarik di sini. Pola relasi orang tua dan anak pada SBY -- AHY dan Jokowi -- Gibran punya kesamaan. Keduanya tampak dipaksakan. AHY punya karier cemerlang di TNI dan bisa dikatakan sudah terbentang karpet merah untuk sampai ke pucuk pimpinan TNI. Gibran juga punya catatan positif di Solo dan juga ada karpet merah untuk sampai ke posisi tinggi di kancah politik Indonesia. Karpet itu tidak hanya disediakan Jokowi sebagai presiden yang sukses dan dicintai rakyat, tetapi juga disediakan PDI-P.

Sayangnya, proses panjang AHY dan Gibran dipangkas oleh Ayah mereka sendiri. Tentu ada peran Ibu di sana, walau tersembunyi. Kita tidak pernah tahu, apakah AHY menikmati proses di TNI dan Gibran saat menjadi Wali Kota. Namun, melihat kedua Ayah mereka, tentu proses yang mereka jalani pasti lebih mudah ketimbang anak-anak lain dari orang tua biasa.

Sekalipun proses yang mereka jalani melewati jalan yang mulus, nyatanya mereka memilih jalan pintas. Lagi-lagi, kita juga tidak tahu apakah mereka memilih jalan itu, dipilihkan, atau dipaksa untuk memilih. Yang jelas, keputusan itu pada akhirnya dilakukan dan dijalani oleh AHY dan Gibran.

Drama keluarga SBY -- AHY juga Jokowi -- Gibran menjadi pelajaran penting bagi kita. Baik sebagai orang tua, calon orang tua, atau orang dewasa yang disekitarnya ada anak-anak. "Sebagai orang dewasa, kita sering memperlakukan anak seakan mereka adalah miniatur diri kita," kata Esti Handayani, seorang Moderator Milis "Parenthink" dan hink.

Anak bukanlah manusia kecil yang tak punya keinginan, cita-cita, harapan, rasa sedih, dan passion dalam hidupnya. Anak juga bukan patung yang bisa kita pahat sesuai keinginan kita. Anak adalah manusia seutuhnya yang diamanahkan oleh Tuhan.

Yang juga patut dihindari, jangan sampai atas nama demi kebaikan anak, orang tua justru memegang kendali atas anaknya. Segala sesuatu yang dilakukan pada anaknya, ternyata demi reputasi diri orang tua. Orang tua sekuat tenaga membuat anaknya menjadi sukses, tetapi itu untuk memenuhi hasrat dan harapan pribadinya tanpa mempedulikan keinginan dan kebutuhan anak. Akhirnya, anak digunakan sebagai alat pemuas impiannya.

Menurut Vera Itabiliana, psikolog anak dan remaja, orang tua seperti ini tergolong sebagai orang tua narsistik. Mereka "merasa dirinyalah yang berjasa untuk anak, cenderung ingin anak berada di bawah bayang mereka, dan tak ingin anaknya lebih mandiri," tulisnya.

Ilustrasi hubungan ayah dan anaknya (Sumber: Freepik)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun