Pasca Pilpres 2014, hajatan politik terpusat pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Setahun sebelum pemilihan, publik dikejutkan dengan mundurnya AHY dari TNI. Surat pengunduran diri AHY dilayangkan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pada Jumat, 23 September 2016. Â
Dalam banyak kesempatan, Gatot menyayangkan keputusan AHY. Terlebih AHY yang memperoleh predikat Adhi Makayasa, dinilai sebagai prajurit yang unggul dalam hal mental, fisik, dan intelektual. Bahkan, menurut Gatot, AHY dipersiapkan untuk masuk dalam kandidat pimpinan TNI masa depan.
AHY yang kini berusia 45 tahun pun mantap terjun sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta didampingi Sylviana Murni. Keduanya mendapatkan dukungan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sayangnya, AHY -- Sylvi harus berbesar hati karena kalah dari pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Juga kalah dari Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Â
Di kancah politik, AHY nyaman menjadi Ketua Partai Demokrat. Menghadapi Pelpres 2024, Partai Demokrat mengusung AHY sebagai capres. Setelah melewati dinamika politik, AHY pada akhirnya masuk dalam tim pemenangan Capres Prabowo dan Cawapres Gibran. Padahal sebelumnya AHY sempat kuat disebut menjadi kandidat cawapresnya Anies Baswedan.Â
Mirip dengan SBY dan AHY, hubungan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan anaknya K. P. H. Gibran Rakabuming Raka, B.Sc. juga soal profesi anak. Gibran yang baru menjabat sebagai Wali Kota Surakarta sejak Februari 2021 sudah dicalonkan sebagai cawapres.
Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Capres Prabowo, secara resmi mengumumkan bahwa putra sulung Jokowi itu dipilih sebagai cawapresnya pada Minggu, 22 Oktober 2023. Tentu kita belum tahu apakah Prabowo-Gibran mampu menang pada Pilpres 2024 ini.
Bukan isu siapa yang menang yang menarik di sini. Pola relasi orang tua dan anak pada SBY -- AHY dan Jokowi -- Gibran punya kesamaan. Keduanya tampak dipaksakan. AHY punya karier cemerlang di TNI dan bisa dikatakan sudah terbentang karpet merah untuk sampai ke pucuk pimpinan TNI. Gibran juga punya catatan positif di Solo dan juga ada karpet merah untuk sampai ke posisi tinggi di kancah politik Indonesia. Karpet itu tidak hanya disediakan Jokowi sebagai presiden yang sukses dan dicintai rakyat, tetapi juga disediakan PDI-P.
Sayangnya, proses panjang AHY dan Gibran dipangkas oleh Ayah mereka sendiri. Tentu ada peran Ibu di sana, walau tersembunyi. Kita tidak pernah tahu, apakah AHY menikmati proses di TNI dan Gibran saat menjadi Wali Kota. Namun, melihat kedua Ayah mereka, tentu proses yang mereka jalani pasti lebih mudah ketimbang anak-anak lain dari orang tua biasa.
Sekalipun proses yang mereka jalani melewati jalan yang mulus, nyatanya mereka memilih jalan pintas. Lagi-lagi, kita juga tidak tahu apakah mereka memilih jalan itu, dipilihkan, atau dipaksa untuk memilih. Yang jelas, keputusan itu pada akhirnya dilakukan dan dijalani oleh AHY dan Gibran.
Drama keluarga SBY -- AHY juga Jokowi -- Gibran menjadi pelajaran penting bagi kita. Baik sebagai orang tua, calon orang tua, atau orang dewasa yang disekitarnya ada anak-anak. "Sebagai orang dewasa, kita sering memperlakukan anak seakan mereka adalah miniatur diri kita," kata Esti Handayani, seorang Moderator Milis "Parenthink" dan hink.
Anak bukanlah manusia kecil yang tak punya keinginan, cita-cita, harapan, rasa sedih, dan passion dalam hidupnya. Anak juga bukan patung yang bisa kita pahat sesuai keinginan kita. Anak adalah manusia seutuhnya yang diamanahkan oleh Tuhan.