Satu benda lagi yang menarik perhatian adalah contoh gambar batik di kertas yang dipigura. Selembar kertas yang digambar 3 motif batik itu diyakini berusia sekitar 150 tahun!!!
Ada banyak pertanyaan yang memerlukan penelitian lebih lanjut, seperti bahan kertas dan pewarna apa yang bisa awet selama itu? Lalu pensil warna yang digunakan seperti apa karena mata pinsilnya begitu tipis untuk bisa membuat detail motif batik. "Rencana kita mau ada penelitian," kata pemandu sambil memegang pigura motif batik.
Ya, di ujung tempat tidur ada pintu bunker, yang dalamnya hanya sekitar 160 cm, karena saya sendiri tidak bisa berdiri tegak. Harus menunduk sambil menyenderkan badan ke tembok. Ada tangga sempit untuk masuk ke dalamnya.
Setelah menuruni tangga dari lubang berdimesi 100 cm x 100 cm, kami berada di ruangan bunker berukuran sekitar 150 cm x 300 cm. Kecil dan berasa sesak selama berada di dalam.Â
Ruangan tersebut merepresentasikan dulunya Rumah Merah berfungsi sebagai rumah candu. Bunker yang terhubung dengan pintu luar, menjadi jalur masuk-keluar candu yang kala itu menjadi barang dagangan yang menggiurkan.
Candu yang didatangkan dari China jadi komoditi legal sekaligus illegal karena permintaannya sangat tinggi. Maka tak heran, banyak warga Lasem yang mayoritas dihuni kaum Tionghoa bergerak di bisnis ini. Namun Belanda mengambil hak monopoli perdagangan candu mulai 1880 dan 1894 lewat Regi Opium Hindia Belanda. Dampaknya adalah kaum Tionghoa Lasem banting setir ke bisnis lain, salah satunya adalah masuk ke industri kain batik tulis.
Menurut saya, kesan mistis di kamar berbunker itu tak lepas dari aura candu yang memang tidak baik. Suatu benda yang tidak baik akan bersinggungan dengan banyak hal negatif lain, termasuk mempengaruhi perilaku orang yang ada di sekitar barang haram tersebut.
Sudah selesai membicarakan yang mistis-mistis. Sekarang kembali ke Kamar Nonik. Nah, di sebelah Kamar Nonik, ada dapur. Ini juga masih belum tertata, masih apa adanya.Â
Tapi tampaknya peralatan memasak lengkap di sana, ada tungku masak yang dijadikan sebagai kompor berbahan kayu bakar, berbagai panji dan wajan dari tanah liat/ tembikar, tempat bumbu, dan beragam peralatan makan. Untuk tungku sendiri, saya melihat di beberapa rumah di Lasem masih mempertahankannya sampai sekarang.