Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang banyak terkait perlindungan warga negaranya dari ancaman perdagangan manusia (human trafficking) dan pekerja migran. Ribuan orang telah menjadi korban. Namun tidak banyak yang peduli.Â
Pemerintah kerap dipandang masih kurang serius, karena disinyalir ada beberapa oknum yang bermain dalam bisnis kotor ini. Maka peran gerakan kemasyarakatan terus didorong keterlibatannya.
Berdasarkan data International Organization for Migration (IOM), di tahun 2015-2017 setidaknya  8.876 warga kita telah menjadi korban perdagangan manusia.Â
Sama memprihatikannya dengan data dari United Nations Children's Fund (Unicef). Di mana ada 100.000 perempuan dan anak di Indonesia diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual setiap tahunnya. Â
Dari sisi pemerintah, data ini tidak ditampik. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengakui tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sulit untuk diberantas. Karena menurutnya ada keterlibatan dari oknum pejabat.Â
Maka tidak heran banyak korban dari praktik TPPO, khususnya dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Salah satu kota yang disoroti sebagai pusat TPPO adalah Batam, Kepulauan Riau. Menurut Yohana, Batam jadi tempat TPPO terbesar kedua setelah Papua. Yang mengejutkan, Batam yang menjadi pintu gerbang untuk keluar negeri ternyata memiliki angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tinggi.
Kondisi sosial kemasyarakatan di Batam ini ternyata menarik nurani seorang Pastor Katolik bernama Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong (39). Sejak ia ditahbiskan 9 tahun lalu, Paschalis setia mendampingi para korban perdagangan orang dan pekerja migran Indonesia di Batam.Â
Mereka hidup dalam situasi traumatik, ketakutan, dan kekerasan. Tidak sedikit perempuan yang menjadi korban juga didapati hamil tanpa ayah yang jelas.
Lebih dari itu, sebagai seorang pastor yang sering mendengarkan keluh kesah umat, Paschal yang lahir di Dabo Singkep pada 9 April 1980, kerap berhadapan dengan permasalah sosial. Tidak hanya korban TPPO, tetapi korban penggusuran, kekerasan dalam masyarakat maupun KDRT. Â Â