Kota dengan landmark seperti nama yang melekat pada individu. Semakin unik landmark, orang akan semakin mengenal kota tersebut. Namun sayang, ada beberapa kasus landmark dianggap tidak sesuai dengan pandangan sekelompok orang sehingga berujung pada pemindahan atau penghancuran.
Yang jelas landmark atau bisa juga disebut ornamen kota, bagi saya adalah sebuah karya seni. Sebuah refleksi pemimpin terhadap kotanya.Â
Kedalaman atau kedangkalan refleksi pemimpin akan tercermin dari landmark atau ornamen yang tersaji secara terbuka. Kalau sudah demikian, sikap terbuka terhadap masukan menjadi tidak terhindar.
Saya tinggal di Bogor. Setidaknya saat akhir pekan. Tiap kali membicarakan Bogor, umumnya tidak lepas dari Kebun Raya Bogor, Kota Hujan, dan sebuah landmark yang disebut Tugu Kujang. Letaknya yang di tengah kota membuat tugu ini menjadi titik perhatian.
Satu yang menarik dari tugu ini adalah kujang yang ada di bagian atasnya. Selama ini mungkin kita berpikir kujang adalah senjata tradisional Sunda.Â
Namun berdasarkan penelitian dari budayawan sunda sekaligus kolektor benda pusaka Budi Dalton, sebagaimana terungkap di Kompascom, kujang dalam berbagai literatur kesundaan tidak pernah disebut sebagai senjata.Â
Kujang memiliki nilai yang lebih tinggi dari sekadar senjata."Kujang itu adalah simbol kedaulatan sebuah negara. Yang disebut pakarang atau senjata itu bedog (golok). Saya mempertahankan satu argumen bahwa kujang adalah simbol atau pusaka bukan pakarang," kata Budi kepada Kompas.com.
Pemahaman baru terhadap kujang ini semakin membuat kita takjub. Memandang Tugu Kujang yang berada di tengah kota membuat kita semakin sadar bahwa pada dirinya telah termaktup simbol persatuan.Â
Pemerintah Kota Bogor tentu berharap, keberagaman latar belakang penduduknya memperkaya, memperkuat, dan mempermudah pembangunan, asalkan semuanya bersatu. Jika ada perselisihan, maka pandanglah Tugu Kujang ini.
Lebih lanjut, dalam perkembangannya, Tugu Kujang memiliki teman. Di sisi Utaranya berdiri Tepas Lawang Salapan Dasakreta. Penampakannya sangat mencolok. Pilar-pilarnya menjulang tinggi melebihi Si Tugu Kujang.Â
Warna putihnya begitu mencolok dengan latar belakang pepohonan berwarna hijau gelap. Rerimbunnya menandakan bagian dari Kebun Raya Bogor.
Menurut catatan Lovely Bogor, Tepas Lawang Salapan Dasakreta terdiri dari 10 pilar, 9 lawang yang berarti pintu, 2 rotunda. Sepintas landmark ini tampak "berdiri sendiri" dan terasing dari Tugu Kujang yang telah ada sebelumnya.Â
Karena arsitekturnya seperti mengadopsi gaya Romawi. Namun sesungguhnya, pilar-pilar tersebut menyesuaikan dengan gaya Istana Bogor. Bisa dikatakan, ini seperti pintu atau lawang belakang dari Istana Bogor.
Masih dari Lovely Bogor, 10 pilar diambil dari falsafah Dasakreta Kerajaan Pakuan Pajajaran. Konsep ini menuturkan bahwa manusia harus menjaga kebersihan 10 (dasa) bagian tubuhnya.Â
Tidak hanya bersih secara fisik tetapi juga bersih pikiran, perasaan, perilaku, dan spiritualnya. Selain filosofi Dasakreta, masih banyak warisan kebijakan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang bisa kita serap untuk konteks hidup sekarang.Â
Intinya, hidup manusia harus saling mengasihi, mengingatkan, menjaga perdamain, persahabatan, saling memaafkan, dan keutamaan lain demi mencapai sebuah komunitas yang sejahtera.
Lovely Bogor, berarti "Segala hal di masa kini adalah pusaka di masa silam, dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan," atau juga bisa, "Apa yang kita nikmati hari ini adalah warisan pendahulu, dan apa yang kita nikmati sekarang akan diwarisi untuk generasi berkutnya."
Satu lagi yang menarik. Di atas landmark ada tulisan, "DI NU KIWARI NGANCIK NU BIHARI SEJA AYEUNA SAMPEUREUN JAGA." Ini adalah semacam peribahasa Sunda yang jika diterjemahkan olehLandmark sebuah kota atau ornamen kota sejatinya tidak bisa dibuat begitu saja. Harus ada refleksi mendalam dari pemimpinnya terhadap budaya kota yang dia pimpin.Â
Nilai dan keutamaan apa yang telah dihidupi dan diwariskan dari para pendahalu, harus diserap dan diintepretasikan dalam sebuah karya seni yang kita sebut landmark atau ornamen kota.
Jika landmark sudah berdiri, tinggal bagaimana pemimpin mengajak seluruh warganya untuk bersimpuh bersama. Menyerap nilai-nilai leluhur yang tercermin dalam karya seni landmark.Â
Hingga pada akhirnya, jika ada ancaman terhadap warga kota, pemimpin mengingatkan kembali kepada landmarknya supaya saling bersatu, saling merangkul, dan kembali dalam satu ikatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H