Dari kiri tampak Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Juda Agung; public figure dan wirausahawati Nadine Chandrawinata; dan Chief Operating Officer Kompasiana Nurulloh dalam kesempatan Nangkring Bersama Bank Indonesia Bertema Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan di Jakarta, 26 Juni 2019.
Kondisi ekonomi nasional saat ini baik, sehat, dan stabil. Namun demikian, dilihat dari kuadran ekonomi kita sedang berada di bawah. Artinya, ada pesimisme di dalam ekonomi sehingga sangat hati-hati dalam mengembangkan usaha atau menyalurkan kredit.
"Menurut saya, ini saatnya LTV (loan to value) dilonggarkan untuk mendorong kredit sampai 3-4 tahun ke depan untuk mendorong perekonomian nasional," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Juda Agung, dalam kesempatan Nangkring Bersama Bank Indonesia Bertema Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan di Jakarta, 26 Juni 2019.
Juda mengakui bahwa sejak beberapa tahun terakhir, pihaknya menyadari situasi ini dan telah mengambilkan kebijakan makroprudensial akomodatif setidaknya sampai 4 tahun ke depan.Â
Langkah konkretnya adalah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), melonggarkan LTV sejak 2015 setidaknya sampai 2018, meningkatkan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada 2018-2019, dan melonggarkan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).Â
"Hal ini dilakukan (melonggrakan moneter), supaya ada dorongan dalam penyaluran kredit perbankan, sehingga memacu pertumbuhan ekonomi," ungkap Juda. Â
Kebijakan makroprudensial lain, sambung Juda, yang tengah dilakukan adalah meningkatkan akses keuangan dan pembiayaan pada UMKM dan pinjaman likuiditas pendek (PLJP) serta PLJP Syariah.Â
PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia kepada bank umum untuk mengatasi kesulitas likuiditas jangka pendek. Kesulitan yang dimaksud adalah arus dana masuk lebih kecil dari arus dana keluar, yang dapat membuat bank tidak dalam memenuhi kewajiban GWM primer dalam rupiah.
Pada kesempatan tersebut, Juda menjelaskan apa itu kebijakan makroprudensial yang menjadi tugas utama BI. Kebijakan tersebut adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Makroprudensial sangat penting dilakukan, setelah kita bersama banyak negara mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998 dan 2008.
Krisis ekonomi umumnya tidak disadari oleh banyak pihak. Krisis justru datang di saat ekonomi kita sedang berjalan dengan baik, tetapi tiba-tiba krisis itu terjadi.Â
Semua pihak kaget, sehingga menyebabkan kepanikan dan bersifat sistemik atau merambat ke krisis bidang lainnya termasuk mengguncang geopolitik. "Bisa digambarkan, krisis ekonomi seperti peristiwa kecelakaan di jalan raya yang menyebabkan kemacetan di mana-mana," Juda mencontohkan.
Bank Indonesia melalui kebijakan makroprudensialnya mengawasi sistem lalu lintas secara keseluruhan supaya tetap berjalan teratur, tidak macet. Jika macet maka dibuatlah sejumlah kebijakan makroprudensial, jika pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi maka direm dengan pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga acuan. Akibat langsungnya adalah permintaan kredit akan melambat.Â
Langkah ini untuk menekan pertumbuhan yang bersifat konsumtif maupun yang ditopang oleh kredit perumahan dan kendaraan karena bisa mengancam stabilitas sistem keuangan jika tiba-tiba terjadi krisis keuangan. Jika yang terjadi sebaliknya, maka kebijakannya seperti yang saat ini dilakukan oleh BI terhadap perekonomian kita yang sedang lesu. Â
Â
Bagaimana jika terjadi kecelakaan? Maka BI dengan kebijakannya bersama Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Pinjaman berkoordinas supaya kemacetan akibat kecelakaan tersebut tidak sistemik, atau menyebabkan kemacetan di jalur jalan lainnya.
Sistem keuangan yang sehat, ibaratnya jalan harus bagus yakni aturan atau kebijakannya bagus, mobilnya (banknya) juga sehat, sopir mobilnya (pemimpin banknya) juga harus memiliki rekam jejak yang bersih.Â
Semua elemen dari sistem keuangan ini diawasi secara ketat. "Ini kerjaannya OJK. Tidak hanya bank, tetapi lembaga pembiayaan lain termasuk arusansi," papar Juda.
Kebijakan makroprudensial ini senyatanya sangat sederhana. Karena krisis keuangan yang besar, yang melibatkan sebuah negara atau beberapa negara, sebenarnya dalam skala kecil juga bisa kita alami.Â
Krisis keuangan terjadi di saat kita lengah dan tidak mempunyai cadangan dana. Untuk itu, kita diajarkan untuk tidak hidup foya-foya saat ada uang. Anak zaman sekarang mengistilahkannya, "Yuks kita ngedon," atau melakukan kesenangan dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Jika kita memiliki sifat makroprudensial, maka setiap kali kita mendapatkan gaji atau pendapatan maka uang itu tidak akan dihabiskan untuk konsumsi. Sebagai besar disisihkan untuk ditabung. Baru sisanya diatur untuk kebutuhan harian dan sebagian kecil lagi untuk ngedon.
Bagi yang memiliki usaha, seperti Nadine Chandrawinata yang juga hadir dalam acara ini, maka saat mendapatkan keuntungan harus ada yang dikembalikan menjadi modal atau dirubah dalam bentuk produk. Ini harus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan usaha dan mempersiapkan diri jika situasi bisnis tidak bagus.
Ternyata kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan mudah dipahami dan dalam skala kecil bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga negara kita aman dari hantaman krisis, baik yang datang dari luar, maupun mendapat pengaruh dari luar.
Artikel ini juga ada di Blog Pribadi, ONEtimes.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H