Dari bincang-bincang, diketahuilah bahwa Lasem awalnya hutan jati yang sangat lebat. Kawasan ini dibuka oleh imigran yang datang dari Tiongkok Selatan yang ingin memperbaiki nasib.Â
Pendapat ini mengacu dari arsitektur Klenteng Cu An Kiong yang mengadopsi gaya Tiongkok bagian selatan pada masanya. Tampak jelas dari bentuk atapnya yang menyerupai ekor walet atau sering disebut "Ying Shan."Â
Catatan Sejarah yang Hilang
Populasi orang Tionghoa di Lasem terus berkembang dan maju secara ekonomi. Bahkan Lasem pernah menjadi pintu masuk candu atau narkoba yang kala itu "halal." Sekitar tahun 1800-an, Lasem menjadi daerah dengan populasi Tionghoa terbanyak se-wilayah Pantura Jawa.Â
Perlahan kota ini mulai memudar dan orang Tionghoa mulai pindah ke arah Timur yakni Surabaya, juga ke Semarang arah Barat. Namun Lasem tetap mempertahankan identitasnya sebagai kota multikultur yang mampu mempersatukan budaya Tionghoa dan Jawa dalam tiap sendi kehidupan.
Salah satu saksi bisu kerukunan hidup di Lasem adalah Klenteng Cu An Kiong. Tempat ibadah dengan nuansa Taoisme ini diyakini didirikan oleh penduduk Tionghoa yang kali pertama "babat alas" di Lasem.Â
Tidak ada catatan sejarah yang tertinggal di klenteng ini perihal pendiriannya. Hanya diketahui klenteng direnovasi sekali saja di tahun 1838. Selebihnya, semua bangunan dengan segala isinya masih asli. Hanya bangunan tambahan di ruang depan dan bangunan di sisi kanan-kiri klenteng sebagai tambahan.
Catatan sejarah hilang seiring dengan penjajahan Belanda yang juga masuk ke daerah Lasem. Bukti-bukti sejarah diyakini dicuri oleh Belanda, sebagian di antaranya masih ada di Museum di Belanda.Â
Dari sejumlah pengurus museum Indonesia yang pernah ke Den Hag, Belanda, diketahui kalau klenteng ini ada di dalam peta Lasem buatan 1477. Maka masuk akal juga jika ada sumber lain yang menyebut kalau klenteng dibangun pada 1335. Artinya, umur klenteng ini tidak kurang dari 600 tahun dan menjadikannya sebagai klenteng tertua di Pulau Jawa.Â
Apa yang dialami Klenteng Cu An Kiong jamak ditemui di bangunan bersejarah di seluruh Indonesia. Satu sisi kita geram kenapa bagian dari sejarah bangsa ini berada di negeri mantan penjajah.Â
Namun di sisi lain kita juga mesti intropeksi diri, jika memang diserahkan kepada kita apakah kita mampu merawat, meneliti, dan belajar dari sejarah kearifan nenek moyang kita?