Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Melihat Kampanye Terakhir dalam Perspektif Minggu Palma

14 April 2019   07:00 Diperbarui: 14 April 2019   10:30 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan capres-cawapres 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bersiap mengikuti debat terakhir Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta pada Sabtu (13/4/2019)| Kompas.com/Garry Lotulung

Di hari terakhir kampanye ini, 13 April 2019, Capres-Cawapres 01 menutup dengan Rapat Umum Rakyat Konser Putih Bersatu di Gelora Bung Karno. Sedangkan Capres-Cawapres 02 menutup kampanye akbar di Alun-alun Kota Tangerang, Banten. Kedua pasangan akhirnya bertemu di debat pamungkas.

Narasi yang dilontarkan keduanya tampak sama dan konsisten. Capres-Cawapres 01 tetap pada jargon untuk menjadi negara yang besar kita harus penuh optimisme, tidak mudah menyerah, selalu bersyukur dan terus bekerja keras. 

Sedangkan Capres-Cawapres 02, menawarkan diri sebagai solusi setelah sebelumnya terus memaparkan narasi bahwa situasi Indonesia saat ini dalam keadaan susah, tidak mampu, lemah dan istilah lainnya.

Konsistensi yang ditawarkan oleh kedua capres semakin membuat kita yakin, seperti apa calon pemimpin yang akan kita pilih. 

Bahkan, selama kampanye berlangsung kita tidak hanya melihat bagaimana narasi yang mereka sampaikan, tetapi juga melihat pembawaan diri mereka, bahasa tubuh, emosi, dan tutur katanya.

Belajar Dari Minggu Palma
Peristiwa Minggu Palma menjadi refleksi bagi kita untuk melihat bagaimana sosok pemimpin yang ideal. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana perasaan Isa Almasih dikhianati oleh pendukungnya. 

Pada saat yang sama, mereka bisa memuji sekaligus menjerumuskannya dalam kematian keji. Tetapi, Ia tetap setia membawa kabar kebenaran, tetap tenang, sabar, dan konsisten pada amanah yang Ia terima.

Jokowi pernah mengalaminya. Bagaimana mantan menterinya yang dinilai kurang berprestasi, kini berpaling melawannya. Dari pihak 02, dulu Ali Mochtar Ngabalin adalah juru bicara yang kerap pasang badan untuk Prabowo. Tetapi kini, Ngabalin berdiri di sisi Jokowi. 

Bahkan Ahok yang kini minta dipanggil BTP pun mengalaminya. Dalam survei, terbukti bahwa sebagian besar penduduk DKI Jakarta mengakui kinerjanya yang bagus. Tetapi mereka tidak mau memilihnya. Akhirnya Ahok kalah, bahkan berakhir di penjara. Inilah ironi pemimpin.

Bagi saya, ini adalah dinamika menjadi seorang pemimpin. Siapa saja yang ingin menjadi pemimpin, atau mengklaim diri sebagai pemimpin, harus memiliki sifat rendah hati. 

Lapang dada atas segala dinamika kehidupan atau politik yang terjadi. Mengedepankan sikap optimisme bahwa misi - idealisme - amanah yang ia bawa dapat tercapai, bukan justru menghancurkannya dengan sikap diri yang tidak baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun