Di hari terakhir kampanye ini, 13 April 2019, Capres-Cawapres 01 menutup dengan Rapat Umum Rakyat Konser Putih Bersatu di Gelora Bung Karno. Sedangkan Capres-Cawapres 02 menutup kampanye akbar di Alun-alun Kota Tangerang, Banten. Kedua pasangan akhirnya bertemu di debat pamungkas.
Narasi yang dilontarkan keduanya tampak sama dan konsisten. Capres-Cawapres 01 tetap pada jargon untuk menjadi negara yang besar kita harus penuh optimisme, tidak mudah menyerah, selalu bersyukur dan terus bekerja keras.Â
Sedangkan Capres-Cawapres 02, menawarkan diri sebagai solusi setelah sebelumnya terus memaparkan narasi bahwa situasi Indonesia saat ini dalam keadaan susah, tidak mampu, lemah dan istilah lainnya.
Konsistensi yang ditawarkan oleh kedua capres semakin membuat kita yakin, seperti apa calon pemimpin yang akan kita pilih.Â
Bahkan, selama kampanye berlangsung kita tidak hanya melihat bagaimana narasi yang mereka sampaikan, tetapi juga melihat pembawaan diri mereka, bahasa tubuh, emosi, dan tutur katanya.
Belajar Dari Minggu Palma
Peristiwa Minggu Palma menjadi refleksi bagi kita untuk melihat bagaimana sosok pemimpin yang ideal. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana perasaan Isa Almasih dikhianati oleh pendukungnya.Â
Pada saat yang sama, mereka bisa memuji sekaligus menjerumuskannya dalam kematian keji. Tetapi, Ia tetap setia membawa kabar kebenaran, tetap tenang, sabar, dan konsisten pada amanah yang Ia terima.
Jokowi pernah mengalaminya. Bagaimana mantan menterinya yang dinilai kurang berprestasi, kini berpaling melawannya. Dari pihak 02, dulu Ali Mochtar Ngabalin adalah juru bicara yang kerap pasang badan untuk Prabowo. Tetapi kini, Ngabalin berdiri di sisi Jokowi.Â
Bahkan Ahok yang kini minta dipanggil BTP pun mengalaminya. Dalam survei, terbukti bahwa sebagian besar penduduk DKI Jakarta mengakui kinerjanya yang bagus. Tetapi mereka tidak mau memilihnya. Akhirnya Ahok kalah, bahkan berakhir di penjara. Inilah ironi pemimpin.
Bagi saya, ini adalah dinamika menjadi seorang pemimpin. Siapa saja yang ingin menjadi pemimpin, atau mengklaim diri sebagai pemimpin, harus memiliki sifat rendah hati.Â
Lapang dada atas segala dinamika kehidupan atau politik yang terjadi. Mengedepankan sikap optimisme bahwa misi - idealisme - amanah yang ia bawa dapat tercapai, bukan justru menghancurkannya dengan sikap diri yang tidak baik.