Pemilu semakin dekat. Kita berharap, Pemilu menjadi ajang pesta demokrasi sebagaimana digaungkan para elit negeri ini. Namun ternyata, pesta itu lebih berkesan sebagai berantem karena jumlah hoaks terus meningkat.
"Mana ada orang ke pesta ngajak berantem. Mungkin pakaiannya bisa kaos, tapi yang namanya pesta kita fun, bukan berantem," kata Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika, saat menjadi pembicara utama di Smart Citizen Day (SCD) di Jakarta, 28 Maret 2019.
Berdasarkan data, ia melanjutkan, pada Agustus 2018 jumlah berita bohong yang tersebar di dunia maya "baru" berjumlah 25 buah. Jumlah ini terus meningkat, 27 hoaks di September, 53 di Oktober, 63 di November, dan 75 di Desember.Â
Memasuki tahun 2019, jumlah hoaks melonjak menjadi 175 di Januari 2019 dan 353 buah di bulan berikutnya. "Paling banyak konten hoaks ini terkait politik," ungkap Rudiantara. Â
Menghadapi fenomena ini, pihaknya tidak tinggal diam. Menurut Rudiantara pihaknya telah mengambil langkah-langkah untuk meredam hoaks ini demi terselenggarakan pemilu damai.Â
Pertama pendekatan hulu, berupa literasi digital dan sosialisasi. Terkait hal ini, ia mengajak perwakilan 34 provinsi yang melakukan deklarasi smart citizen untuk bersama-sama menyosialisasikan literasi digital seluas-luasnya.
Langkah kedua adalah menyampaikan informasi ke publik berita mana saja yang masuk kategori hoaks. Untuk itu, kini ada situs stophoaks yang menunjukkan berita mana saja yang menyesatkan. Tiap hari terus diupdate. "Saya juga minta kontak perwakilan yang deklarasi tadi, supaya bisa saya blast," tutur Rudiantara.
Terakhir adalah pendekatan penegakkan hukum. Kominfo bisa meminta platform media sosial untuk turut mengontrol peredaran hoaks. Lalu jika ada hoaks yang dinilai memiliki potensi dampak yang besar, maka temuan ini ditindaklanjuti bersama polisi. "Kami dukung polisi dengan memberikan profiling. Semua jejak digital kalian terekam semua," ungkap Rudiantara. Â