Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Hambatan Orang yang Ingin Jadikan Hobi sebagai Penghasilan

5 Oktober 2018   07:00 Diperbarui: 5 Oktober 2018   10:30 2903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel motivasi untuk mendorong orang menjadikan hobinya sebagai sumber penghasilan tambahan, tidak susah ditemukan. Tetapi, tahukah jika dalam praktiknya ada saja hambatan saat orang ingin menjalaninya. Tapi artikel tentang itu malah tidak ada.

Pengalaman yang saya alami terkait dengan hobi fotografi. Ada pengalaman langsung, ada juga tidak langsung. Entah itu mendengar orang lain cerita, atau dari hasil pengamatan.

Dalam bidang usaha public relations atau event organization, senyatanya fotografi menjadi bagian yang cukup penting. Ini menjadi kesempatan yang bagus untuk mereka yang hobi fotografi untuk masuk. Namun yang dialami saudara saya terbilang cukup menyesakkan dada.

Posisinya adalah sebagai pemilik perusahaan public relations agency. Suatu kali sedang rapat dengan klien, saudara saya memasukkan poin biaya fotografer di dalam budget.

 Hal yang tidak terduga terjadi. "Ini dicoret saja, kan ibu punya kamera dan biasa moto. Pake ibu saja," kata klien dengan nada enteng.

Kami memang suka dengan fotografi. Bahkan, untuk mengembangkan diri, kami memiliki kamera lebih dari satu. Jika ada waktu dan kantong belakang lumayan ada isi, kami bepergian sembari hunting foto. Kesempatan mengasah teknik foto juga didapat dari kursus-kursus singkat yang beberapa di antaranya tidak berbayar.

Zaman sudah bergeser. Kegiatan fotografi pun bukan lagi eksklusif. Sang klien pun tidak lagi memandang penting dokumentasi. Selain berpikir saudara saya hobi foto, ia juga berpikir bisa "minta" foto dari wartawan foto yang datang. 

Ia merasa yakin akan diberi karena sang fotografer tidak punya beban, pertama alat yang ia pegang bukan milik sendiri, kedua umumnya ada uang transport yang diberikan.

Jika foto tidak juga didapat, masih ada smartphone. Semua produsen telepon pintar berlomba-lomba mengedepankan kemampuan kameranya untuk dijual ke masyarakat. 

Mulai dari memiliki resolusi tinggi, bisa menghasilkan foto yang bagus di daerah minim cahaya, hasilnya bokeh, dan orang yang jerawatan bisa tampak mulus. Pokoknya, semua momen bisa terabadikan dengan baik hanya dari kamera telepon pintar.

Berkat dunia digital yang siapa saja bisa mengklaim diri sebagai fotografer, membuat biaya jasa fotografer jadi anjlok. Teman saya, seorang fotografer, mengaku 2 tahun terakhir pendapatannya menurun drastis. 

Ada banyak fotografer baru, berani bilang, "Kamu punya uang berapa, sini aku fotoin." Hal ini terjadi karena banyak yang memiliki kamera, hasilnya pun bagus karena semakin ke sini produsen kamera menciptakan produknya semakin canggih.

Biaya fotografer yang anjlok membawa implikasi pada tawar-tawaran kebutuhan dokumentasi. Kalau dulu klien bertanya, "Tolong dicarikan fotografer yang bagus untuk dokumentasi 2 hari ya." 

Sekarang bilangnya, "Budget dokumentasinya cuman segini ya." Akhirnya yang mendapat pekerjaan hanya bisa bilang, "Tolong cari orang bisa fotoin acara itu. Syaratnya dia harus punya alat sendiri."

Kenapa harus punya alat sendiri? Pertama, untuk menghemat budget karena tidak harus sewa alat. Kedua, orang sudah banyak yang punya kamera sehingga tidak perlu mendatangkan fotografer profesional yang tentu biayanya tidak murah. 

Biaya tidak murah itu sangat dimaklumi karena menghitung pengalaman, profesionalitas, dan pendidikan fotografi yang ada di belakangnya. Ketiga, ini yang agak tidak masuk akal, ternyata ada banyak fotografer (terutama mantan wartawan foto) yang tidak punya kamera sendiri. 

Jadi kalau mau merekrut mereka, kita harus menyewakan alat. Artinya ada biaya tambahan.

Melalui tulisan ini saya mau mengingatkan untuk menghargai kemampuan orang lain. Hargailah mereka dan kami sebagai manusia, bukan alat. 

Setidaknya hargai kami karena mampu membeli kamera, mampu fotografi dasar karena praktik dan kursus secara serius, karena passion kami pada fotografi, mampu mengkhususkan waktu untuk fotografi di tengah kesibukan harian kami. 

Dan yang terpenting juga, kami perlu biaya untuk memperbaiki kamera jika rusak, menambah kelengkapan kamera, atau bahkan beli kamera baru karena yang lama rusak. Bagian ini tentu tidak dipikirkan oleh sebagian fotografer profesional karena alat dari kantor.

Satu lagi. Walaupun judulnya adalah hobi fotografer yang ingin mencari penghasilan tambahan, tapi ada kata "hobi" di sana. Artinya, kami atau setidaknya saya menjalani pekerjaan ini atas dasar hobi, kesenangan pribadi. Artinya, kami tidak ngoyo mengejar biaya jasa foto. 

Asalkan kami bisa menyalurkan hobi dan klien merasa puas, rasa capai rasanya terbayar. Kami hanya butuh dihargai sebagai manusia, jangan digampangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun