Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengurus Yayasan Mahakarya Bumi Nusantara

Pribadi yang ingin memaknai hidup dan membagikannya. Bersama Yayasan MBN memberi edukasi penulisan dan wawasan kebangsaan. "To love another person, is to see the face of God." http://fransalchemist.com/

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Melihat Lagi Budaya Kita Melalui Istilah Ganjil-Genap

25 Agustus 2018   08:00 Diperbarui: 25 Agustus 2018   10:56 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu penerapan isu ganjil genap tidak pernah redup. Di awal kemunculannya, kontroversi tentangnya terus menyeruak. Semakin meluas dibicarakan banyak orang seiring penerapannya yang semakin diperluas. Apalagi saat ini, kebijakan ganjil genap semakin menarik perhatian karena wilayahnya jauh lebih luas demi kelancaran mobilitas para atlet yang akan berkompetisi di Asian Games 2018. 

Kebijakan ini juga menarik perhatian saya. Sebagai orang yang tinggal di Jakarta, banyak sedikit kebijakan ini berdampak pada saya. Namun, yang lebih menjadi perhatian saya adalah istilah ganjil genap itu sendiri. 

Mengapa istilah yang dipakai bukan genap ganjil? Mengapa harus ganjil genap, apakah ada aturan bakunya? Apakah ini soal persepsi yang sudah terlanjur terpublikasi sehingga diterima umum sebagai sebuah istilah resmi?

Menurut saya penggunaan istilah atau cara kita berbahasa, terkait dengan budaya. Pilihan kata yang kita lakukan menjadi cerminan pembawaan diri kita. Mungkin inilah yang dinamakan dengan sosiolinguistik, di mana bahasa tidak didekati atau dilihat sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik stuktural, melainkan dilihat sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat manusia.

Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.

Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. 

Hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

Atas dasar itulah, saya merasa yakin pilihan kata yang kita gunakan dalam batasan tertentu menjadi gambaran budaya yang kita bawa. Istilah ganjil-genap dipilih karena kita memiliki kecenderungan untuk berpikir negatif atau pesimis. Hal yang mirip saat kita lebih memilih menggunakan kurang-lebih bukan lebih-kurang. Padahal saat menuliskan simbolnya, kita cenderung membuat tanda tambah dulu baru tanda minus di bawahnya.

Bagaimana saat kita berinteraksi dengan orang lain. Banyak di antara kita memiliki kecenderungan untuk menunjuk diri sendiri dulu baru orang lain saat berinteraksi. Contohnya, "Yang akan pergi ke Jepang besok adalah saya, Cisco, Pety, dan kamu." Walau inti pesan yang ingin disampaikan sama tapi kita tidak memilih kalimat, "Yang akan pergi ke Jepang besok adalah Cisco, Pety, kamu dan saya." Sebagai perbandingan, dalam bahasa Inggris akan dikatakan, "The ones going to Japan are Cisco, Pety, you and me."

Saya sendiri sampai saat ini menggunakan istilah genap-ganjil. Bukan untuk gaya-gayaan atau waton bedo. Tetapi mencoba melihat dan merasakan, apa yang membuat berbeda saat saya menggunakan genap-ganjil, bukan ganjil-genap. Sejauh ini yang saya rasakan adalah ada pengaruh dalam sudut pandang. Saat penerapan ganjil-genap diberlakukan, reaksi sepintas adalah menolak karena dilihat dari sisi negatif yakni merepotkan, bikin susah, dan seterusnya.

Tapi saat menggunakan istilah genap-ganjil, penilaian subjektif saya adalah melihatnya dari sisi positif. Kebijakan ini memang memiliki konsekuensi pada aktivitas kita pada umumnya, tetapi jika dilihat dari sisi positif kebijakan ini akan memberikan manfaat yang lebih besar karena mempengaruhi suksesnya Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018.

Saya melihat untuk membangun budaya bangsa, salah satu pendekatannya adalah melalui bahasa. Pilihan bahasa yang lebih mengedepankan semangat positif, optimisme dan rendah hati sedikit banyak akan mempengaruhi budaya kita, cara berpikir kita, dan bagaimana kita membawakan diri.

Semoga kebijakan genap-ganjil membuat kita bisa melihat perhelatan Asian Games lebih positif. Lebih jauh, kita dapat semakin optimis untuk menjadi tuan rumah yang baik, mampu berbicara banyak di pesta olah raga terbesar di Asia ini, mencapai target emas, serta masuk 10 besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun