Spiritualitas membantu kita untuk menemukan makna dan tujuan hidup. Oleh karena itu, spiritualitas memiliki dimensi vertikal yakni mengarah pada Sang Pencipta pemberi spirit, dan dimensi horizontal yakni mengimplementasikan tujuan hidupnya kepada sesama. Dengan demikian, spiritualitas dimiliki oleh semua orang, baik yang beragama maupun tidak.
Bagaimana dengan spiritualitas mengatakan tidak? Menurut saya, istilah ini berarti sebuah nafas kehidupan atau sebuah pembawaan diri yang mendorong seseorang untuk mengatakan tidak pada setiap tawaran yang berpotensi pada perbuatan koruptif. Orang tersebut merasa yakin bahwa spiritualitasnya ini adalah hasil refleksi dari hubungannya dengan Sang Pencipta, menjadikannya sebuah kebenaran, dan menjalankannya sebagai tujuan hidup di manapun ia dipercaya mengemban amanah.
Spiritualitas mengatakan tidak tampaknya terlihat konyol dan terlalu mudah dilakukan. "Wong cuman bilang 'tidak terima kasih." Tapi, dalam praktiknya hal ini sangat susah. Apakah para pejabat dapat dengan mudah mengatakan "tidak terima kasih" saat diberi "tips" setelah memakirkan kendaraan, sebuah proyek sudah selesai dikerjakan, diberi tawaran uang banyak - mobil - rumah asal memberi izin atau mempermudah izin tertentu, dan banyak bentuk-bentuk tawaran lainnya. Belum lagi tawaran atau godaan tersebut ditambah dengan kondisi tertentu seperti, biaya untuk naik jabatan, anggota keluarga ada yang sakit, terlilit utang, biaya sekolah anak, dan lain-lainnya.
Umumnya, spiritualitas seseorang dibungkam dengan beragam alasan pembenaran diri, seperti, "Wong saya gak minta kok," "Ini mah namanya rejeki, masak ditolak," "Cuman segini mah gak apa-apa, banyak yang lain terima lebih," "Yang lain saja atau pejabat sebelumnya aja seperti ini, berarti ya tidak salah dong," dan sederet alasan lain yang membuat spiritualitas seseorang tertidur. Semakin tertidur dan semakin nyenyak jika pembenaran diri tersebut diperkuat dengan laku kesalehan yang semakin ditonjolkan.
Para pejabat harus memiliki spiritualitas mengatakan tidak, karena posisinya yang memiliki kuasa. Kuasa yang dimiliki ini membuat banyak pihak menawarkan atau memberikan sesuatu tanpa diminta. Maka jangan ini dianggap sebagai rejeki atau aji mumpung. Apalagi kalau sampai pejabatnya yang meminta, maka pihak yang berkepentingan pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya supaya kepentingannya bisa gol. Kuasa yang dimiliki oleh pejabat harus diarahkan pada kemaslahatan masyarakat luas.
Kriteria bagaimana kekuasaan pejabat itu positif atau negatif gampang-gampang susah. Jika itu untuk kepentingan orang banyak itu positif, kalau hanya menguntungkan diri sendiri - keluarga - kelompok kecil maka itu negatif. Memang ada kasus, kekuasaan berada di wilayah abu-abu. Pejabat yang sudah terbiasa mengolah spiritualitasnya, dan tidak mudah menganggap setiap pemberian sebagai "rejeki" maka ia akan mudah bersikap saat berada di wilayah abu-abu.
Kuncinya, mari bangun spiritualitas mengatakan tidak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H