Kedua Korea di Semenanjung menunjukkan tanda persatuan. Mungkin ini bukan berita baru bagi kita. Beragam pula yang menanggapinya.Â
Ada yang takjub karena dua negara yang berseteru bisa sadar arti penting perdamaian. Ada juga yang skeptis. Bahkan ada yang tidak peduli karena tidak ada pengaruhnya pada Indonesia. Setidaknya kita bisa menarik pelajaran penting untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini.
Saya sendiri melihat heran dan semakin percaya bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Tidak ada kebencian abadi, dan tidak ada pula permusuhan tanpa harapan perdamaian.Â
Kalau dipikir, sulit rasanya menerima kalau Korea Utara yang memiliki paham komunis yang sangat kuat bisa membuka tangan, dan Korea Selatan yang paham liberalnya bergerak menjabat tangan saudaranya itu. Perbedaan keduanya tidak ubahnya air dan minyak, tampak mustahil berkomunikasi apalagi bersatu, tetapi nyatanya bisa.
Perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan sejatinya sudah terjadi sejak awal. Sejarah permusuhan Korea dimulai saat Semenanjung Korea dijajah oleh Jepang selama Perang Asia Pasifik.
Pada tahun 1945, saat Jepang menyerah, Semenanjung Korea dibagi menjadi zona pendudukan oleh Sekutu. Pasukan AS menerima penyerahan pasukan Jepang di Korea bagian selatan, sementara pasukan Soviet melakukan hal yang sama di Korea bagian utara.
Ketegangan keduanya tidak bisa terelakkan, karena keduanya didukung oleh negara yang dari awal juga terlibat permusuhan oleh karena perbedaan ideologi. Uni Soviet membawa paham komunisme memberi pengaruh pada Korea Utara sedangkan AS dengan kapitalismenya menyokong Korea Selatan. Alhasil, perbedaan kedua Korea semakin meruncing. Puncaknya, pecah perang saudara pada periode 1950-1953. Walau perang telah usai, namun ketegangan keduanya masih terjadi sampai saat ini.
Namun sejarah memilih jalurnya sendiri. Pada tanggal 27 April 2018, terjadi pertemuan monumental antara Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan dan Kim Jong Un, Pemimpin Tertinggi Korea Utara di Desa Panmunjun, di sisi utara Zona Demiliterisasi.Â
Keduanya memberikan gerakan simbolis yang sangat kuat dengan saling berpegangan tangan melewati garis perbatasan kedua negara. Mereka saling bersepakat untuk melucuti proyek senjata nuklir dan mengakhiri perang dingin dengan perjanjian perdamaian.
Apapun motivasi yang melatarbelakanginya, apapun peristiwa yang terjadi di balik ini semua, tapi saya tetap merasa bahwa niat baik kedua Korea ini untuk bersatu memberikan kesejukan yang berdampak global. Sekalipun secara teknis, persatuan keduanya memang tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan sebagaimana diungkap Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Chang-beom.
Dalam pemberitaan Liputan 6, Kim mengatakan reunifikasi membutuhkan waktu sangat panjang karena menyangkut usaha menyamakan kondisi kedua negara yang sangat berbeda. Dukungan reunifikasi memang banyak datang dari generasi muda Korsel, tapi mereka tidak sadar kalau reunifikasi akan berdampak langsung pada mereka seperti soal penyesuaian tarif pajak.Â