Banyak dari kita sepakat Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia yang sudah final. Banyak pula yang setuju Pancasila merupakan asas yang menyatukan beragam suku, bahasa, agama, budaya, bangsa, warna kulit dan sebagainya yang berbeda di dalam wadah Indonesia.Â
Namun, kata "sepakat" dan "setuju" harus dimaknai secara pribadi. Kalau tidak, ada isu yang bersifat memecah belah akan membuat kita goyah, Pancasila menjadi buram, maka persatuan bangsa akan terancam.
Ada satu tokoh bangsa yang patut kita contoh dalam menghayati Pancasila secara konkret. Dialah (Alm) Johanna Maria Pattinaja Seda, yang sering dipanggi Ibu Jo atau Ibu Frans Seda atau Ibu Seda. Sekilas, Ibu Jo adalah seorang ibu pejabat yang langka. Umumnya, ibu pejabat "hanya" pendamping suaminya dalam tiap acara, atau paling banter ikut dalam kegiatan Dharma Wanita.
Tapi Ibu Jo, sangat produktif. Sebagai isteri (Alm) Fransiscus Xaverius Seda (mantan Anggota DPR-GR/MPRS, Menteri Perkebunan, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan dan Pariwisata), ia sangat aktif mengumpulkan wastra Indonesia sembari mendampingi tugas suaminya.
Wastra adalah sehelai kain yang pembuatannya masih dilakukan dengan cara tradisional. Penggunaannya pun masih berkaitan dengan berbagai bentuk adat atau tradisi, khususnya tradisi yang berhubungan dengan siklus daur hidup dari seseorang lahir hingga meninggal dunia.Â
Pembuatan selembar wastra melalui serangkaian proses yang memakan waktu lama, bahkan di beberapa daerah harus didahului dengan ritual upacara sesuatu dengan kepercayaan yang dianut.Â
Pola yang terlukis di atas selembar kain itu pun merupakan ungkapan rasa seni tinggi yang berkaitan dengan filosofi kehidupan masyarakatnya. Karenanya, hasil yang diperoleh tidak hanya indah dipandang secara inderawi tapi juga seolah mempunyai kekuatan gaib.
Ada ribuan lembar wastra yang menjadi koleksi Ibu Jo yang mulai dikumpulkan sejak 1961. Kisah hidupnya beserta sebagian koleksi wastranya dijabarkan dengan sangat apik dalam buku "Untaian Nilai dalam Wastra. Wastra Unggulan Koleksi Johanna Maria Pattinaja Seda" yang ditulis oleh Sri Sintasari Iskandar dan Benny Gratha, 2017.Â
Buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan berpulangnya Ibu Jo yang ke 1000 hari itu, menampilkan sebagian kecil dari koleksinya yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia dan beberapa dari luar negeri.
Di dalam buku 242 halaman itu, ditampilkan wastra yang sebagian besar berupa tenun ikat dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa, Bali Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Sumba, Sawu, Rote, Flores, Timor), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Selain itu, juga dijabarkan bagaimana teknik wastra yang menjadi warisan budaya Indonesia dan makna motif wastra yang menjadi warisan bagi kita untuk menghetahui beragam dan kayanya budaya Indonesia.
Menurut anak pertamanya, Ery Seda, kecintaan Ibu Jo terhadap wastra Indonesia, khususnya kain tenun ikat Nusa Tenggara Timur, bermula tanpa sengaja.