Pasca teror bom di Surabaya, kita dihadapkan pada isu sertifikasi penceramah agama, pemuka agama, atau istilah lain sejenisnya. Tujuannya supaya tidak ada ajaran yang disampaikan kepada umat yang berunsur memecah belah persatuan Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Isu tersebut membuat saya bertanya diri, apakah di agamaku ada sertifikasi seperti itu?
Sertifikasi dalam sebuah istilah tampaknya tidak pernah saya dengar, tapi kalau merujuk pada sebuah makna, maka sertifikasi di agama Katolik ada.
Sertifikasi, yang dalam hal ini, memiliki makna proses, maka pemimpin agama katolik yang disebut dengan Imam atau Pastor atau Romo atau Pater, telah mendapat sertifikat sebagai Pengajar, Pengudus, dan Pemimpin karena sudah lulus pendidikan khusus.Â
Untuk menjadi Pastor, seseorang minimal harus menyelesaikan 10 tahun jenjang pendidikan: 2 tahun masa Novisiat untuk mengolah batin dan hidup rohani, 4 tahun pendidikan Filsafat dan Teologi, 1 tahun semacam praktik kerja lapangan, 1 atau 2 tahun semacam pendidikan profesi, 1 tahun kembali praktik kerja lapangan sebelum pada akhirnya ditahbiskan atau dilantik menjadi Pastor. Proses ini bisa lebih lama tergantung dari kebijakan tempat pendidikan atau kondisi calon Pastor tersebut.
Dalam tiap jenjang pendidikan ini, tiap angkatan saya pastikan tidak akan bertambah. Tiap tahun, anggota tiap angkatan pasti berkurang, entah mundur atau dimundurkan dengan berbagai alasan dan pertimbangan.Â
Inilah proses alami untuk memunculkan pemimpin agama yang benar-benar terpilih dan siap diterjunkan ke tengah-tengah umat dan dunia.
Apakah setelah lulus, mereka dilepas begitu saja?
Jawabannya tidak. Mereka tetap dipantau dan wajib mengikuti pelatihan/ kursus yang dilakukan secara periodik.Â
Salah satu contoh pelatihan itu bertujuk "Studi Imam Muda" yang diwajibkan pada para Pastor yang umur tahbisannya di bawah 5 tahun.
Atau juga ada "Studi Imam Madya" untuk usia tahbisan yang lebih senior. Bahkan ada program pendampingan untuk para pastor yang memasuki usia lansia.
Pendidikan yang ketat dan berkelanjutan tersebut untuk menjaga profesionalitas pemimpin agama katolik.