Matahari masih jauh dari peraduannya. Burung malam menggema di balik rerimbun bakau, lalu menjauh ditiup angin laut. Suara motor tempel menjadi dominan memecah keheningan alam. Jauh dari perhatian dunia, karena letaknya jauh di pesisir selatan, Kokonao, distrik Mimika Barat, Kelurahan Mimika, Kecamatan Mimika Barat, Kabupaten Mimika, Papua.
"Kenapa harus berangkat malam, karena kita harus memperhatikan pasang dan surutnya air laut. Kalau pasangnya malam, ya tidak ada pilihan, saya harus berangkat untuk memberikan pelayanan ke stasi-stasi," kata Bruder Gregorius Sigit Wiyono, SCJ mengisahkan pengalamannya.
Sigit adalah biarawan katolik yang 6 tahun ini berkarya di Papua. Dua tahun pertama, ia bertugas di Gereja Paroki Maria Bintang Laut, Kokonau. Paroki ini memberikan pelayanan ke banyak stasi atau kelompok-kelompok umat katolik yang letaknya jauh dari paroki, bahkan arus mengarungi ganasnya Laut Arafuru. Sebagian besar wilayah stasi tersebut hanya bisa dijangkau dengan perahu motor atau orang setempat menyebutnya speed.
Namun situasi tersebut sudah berubah sekarang. Sigit yang 4 tahun terakhir ini pindah tugas ke Timika, mengatakan bahwa bensin di Kokonao turun signifikan menjadi Rp. 10.000 per liter sejak progam Bahan Bakar Minyak (BBM) 1 harga yang digulirkan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2016. Dalam perjalanan, harga BBM akan terus turun mencapai titik Rp. 6.450 untuk premium dan Rp 5.150 untuk solar, atau sama dengan harga di Jawa. Bagaimana dengan di Timika?
Timika adalah ibu kota Kabupaten Mimika, Papua. Jaraknya dari Kokonao kira-kira 55 km. Dapat ditempuh dengan pesawat perintis selama 15 menit atau perahu motor 3-4 jam. "Di Timika harga sekarang sudah sama dengan di Jawa. Bensin Rp. 6.450 dan solar Rp 5.150," tutur Sigit.
Harga tersebut tidak terjadi begitu saja. Sebelum kebijakan BBM 1 harga, bensin di Timika berkisar Rp. 15.000 - Rp. 20.000 per liter. Namun kini keadaan telah berubah. Di Timika sudah semakin banyak stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). Masyarakat tidak hanya membeli bensin untuk keperluan pribadi tetapi menjualnya kembali ke pelosok-pelosok. Karena pasokan banyak dan infrastruktur semakin baik, maka harga BBM di pelosok bisa ditekan. "Tapi memang, kalau pas hari raya, terkadang BBM menjadi langka," ujar Sigit.
Inilah bukti nyata kalau program BBM 1 harga memang berjalan. Kalau toh masih ada yang di atas harga normal, tetapi pada kenyataanya sudah turun. Proses terus berjalan dan berada di jalur yang benar. Jangan lelah, terus bekerja demi saudara-saudari kita sendiri di Tanah Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H