Di malam terakhir di Sapporo, saya dikejutkan oleh ikan koi yang hidup di sungai. Saat itu saya sedang menunggu istri saya berjalan dari mini market. Di pinggir jalan ada sungai yang adalah anak sungai Toyohira River. Iseng-iseng melihat sungai, kok seperti ada yang bergerak. Saat saya perhatikan ternyata ada 5 ikan koi besar sedang berenang.
Kalau melihat ikan koi yang hidup di sungai hanya dilihat dalam satu frame, memang hal tersebut menjadi tidak asing lagi. Tetapi, kalau pengalaman ini disatukan dengan pengalaman sebelumnya maka ini baru luar biasa. Kita bisa melihat sebuah struktur pengalaman yang menegaskan bagaimana Jepang mampu menjadikan negaranya maju tetapi tetap memajukan alam dan budayanya. Bukan hanya dilestarikan, tetapi alam dan budaya justru ditingkatkan. Karena mereka tahu, alam dan budaya adalah daya tarik para wisatawan untuk datang. Sedangkan kemajuan teknologi, adalah daya tarik produknya diterima di luar Jepang.
Pengalaman pergi ke Jepang membuat saya berkeyakinan, bahwa secara potensi Indonesia jauh lebih indah. Kota Jakarta pun sebenarnya bisa seindah Sapporo atau Tokyo. Apalagi, konsep Hutan Kota yang telah dinormakan bisa dijalankan. Kata kuncinya adalah kehendak yang kuat dan konsistensi dari pemimpin daerahnya untuk mendorong masyarakatnya untuk bersama-sama mewujudkan hutan kota.
Keberadaan hutan kota sangat vital untuk menyangga kehidupan, tidak hanya manusia tetapi flora dan fauna yang ada di kota tersebut. Dengan adanya hutan kota, maka kita bisa menjalankan tata air dengan baik, memberikan udara yang bagus, menurunkan suhu mikro, mengurangi polusi suara dan tentunya meningkatkan kualitas hidup.
Norma hutan kota telah termaktup dalam  Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. Di sana dikatakan, sebuah kota seharusnya memiliki hutan kota paling sedikit 10% dari luas total wilayahnya. Hutan tersebut tidak harus berada dalam satu lokasi. Bisa terpencar-pencar di setiap sudut kota. Syarat suatu kumpulan pepohonan bisa dijadikan hutan kota antara lain memiliki luas minimal 0,25 ha.
Pemda DKI Jakarta pun punya aturannya. Luas total hutan kota di Jakarta yang telah ditetapkan berdasarkan SK Gubernur mencapai 149,76 ha. Masih terlalu timpang bila dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta yakni 66.233 ha. Bila dipersentasekan luasan tersebut hanya sekitar 0,23%. Hutan kota di Jakarta tersebar di 15 titik, terdiri dari Jakarta Pusat 1 titik, Jakarta Utara 4 titik, Jakarta Barat 1 titik, Jakarta Timur 6 titik, dan Jakarta Selatan 2 titik.
Berbicara hutan kota berarti kita bicara menciptakan sebuah ekosistem. Mari kita masuk dulu ke habitat yang sudah ada, misalnya Sungai Ciliwung. Berdasarkan catatan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC-Bogor), dari 33 spesies ikan yang teridentifikasi hidup di sungai Ciliwung, maka spesies ikan asli di sungai Ciliwung saat ini hanya tinggal sekitar 20 jenis saja. Penelitian ini dilakukan selama periode 2009 - 2011 di 18 titik pengamatan di sepanjang sungai Ciliwung. Jumlah ini jauh dari data LIPI yang menyebutkan pada era 1910-an jumlah spesies ikan yang hidup di sungai Ciliwung diperkirakan mencapai 187 jenis.
Ada banyak ikan yang punah dan jarang terlihat tidak terlepas dari kondisi kualitas air yang buruk. Limbah rumah tangga dan industri menjadi momok mengerikan bagi keberlangsungan ikan-ikan di Sungai Ciliwung. Bagitu juga dengan beragam vegetasi khas di sungai yang membelah Jakarta ini.