Tidak banyak yang tertarik berwisata ke bangunan bersejarah. Kalau pun ada, mungkin kita lebih memilih untuk swafoto. Padahal bangunan bersejarah meninggalkan jejak yang mungkin terhubung dengan kehidupan kita, secara langsung maupun tidak langsung.
Saya tidak pernah membayangkan Fort San Pedro, benteng kuno di Cebu Filipina, ternyata memiliki kaitan sejarah dengan Indonesia. Benteng berbentuk segitiga tersebut, menjadi saksi bisu praktik globalisasi yang sudah terjadi sejak abad ke-15. Filipina bersama Indonesia menjadi persimpangan penting dalam arus globalisasi yang mempertemukan orang dari banyak bangsa dan melakukan pertukaran ekonomi dan budaya. Di sinilah, perjalanan laut dalam konteks globalisasi itu, dari sisi ilmu pengetahuan semakin ditegaskan bahwa bumi itu bulat bukan datar.
Kok bisa ada jejak Indonesia? Sejarah mencatat, salah satu perjalanan keliling dunia yang cukup terkenal adalah ekspedisi Spanyol yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan. Pada tanggal 10 Agustus 1519, Magellan memimpin perjalanan 5 kapal meninggalkan Sevilla menyusuri Sungai Guadalquivir menuju Sanlcar de Barrameda di muara sungai. Mereka tinggal di sana lebih dari lima minggu. Akhirnya mereka berlayar meninggalkan Spanyol pada 20 September 1519.
Dan akhirnya pada pada tanggal 16 Maret 1521, Magellan tiba di Pulau Homonhon di Filipina. Sejarah mencatat, inilah kali pertama orang Eropa menjejakkan kakinya di Kepulauan Filipina. Magellan melanjutkan perjalanan ke Cebu dan sampai 7 April 1521. Ia disambut baik oleh penguasa Cebu, maka ia tidak berkeberatan untuk membantunya memerangi penguasa di Pulau Mactan. tanggal 27 April 1521 Magellan  berlayar ke Mactan. Sayang, mereka kalah dalam pertempuran dan Magellan meninggal dalam peristiwa tersebut.
Kisah ini bisa dibaca: Basilica del Santo Nino: Simbol Katolisitas dan Harapan Warga Filipina
Sepeninggal Magellan, kru kapal kehilangan daya. Di situlah muncul sosok Juan Sebastian Elcano. Ia menggantikan peran Magellan untuk pulang ke Spanyol. Uniknya, rute yang ia pilih berbeda saat berangkat. Ia bersama 2 kapal yang tersisa, Victoria dan Trinidad, menuju ke selatan dan sampailah mereka ke Tidore pada 6 November 1521. Inilah persinggungan pertama bangsa Eropa dengan Indonesia. Â
Misi awal untuk mencari rempah mereka dapatkan di Indonesia. Mereka memenuhi kapal dengan cengkeh dan pala. Pada 18 Desember 1521 mereka pulang dengan singgah di Ambon dan Timor. Setelah itu mereka masuk ke Samudera Hindia menuju Samudera Atlantik. Pada 6 September 1522, selelah melalui banyak rintangan, mereka berlabuh di Spanyol dalam misi mengelilingi dunia yang terbukti bulat. Hanya 1 kapal yang berhasil kembali yakni Victoria, dan hanya 17 orang dari 240 orang.
Peninggalan lainnya tidak lain adalah Fort San Pedro. Benteng yang telah mengalami beberapa kali pemugaran itu, diyakini mulai dibangun oleh Legazpi. Dari sisi militer, berdirinya Fort San Pedro menandai kolonialisasi bangsa Spanyol terhadap Filipina. Tidak berhenti di situ, Spanyol yang juga telah singgah di Tidore dalam perjalanan pertama, juga mendirikan benteng di Tidore yang periode pembangunannya sama dengan Fort San Pedro.
Tidak ada catatan pasti kapan Fort San Pedro mulai didirikan. Berdasarkan catatan yang ada di benteng, struktur asli Fort San Pedro dibangun Legazpi pada 8 Mei 1565, sebelas hari setelah ia mendarat di Cebu. Bangunan masih sederhana dengan berbahan kayu, tetapi sudah berbentuk segitiga seperti saat ini. Nama benteng San Pedro, tampaknya diambil dari salah satu kapal Legazpi. Ada 4 kapal di bawah komandonya, yakni San Pedro, San Pablo, San Juan, dan San Lucas.
45 tahun setelahnya, Spanyol mendirikan benteng di Tidore bernama Santiago Caballeros de los de la de isla Tidore atau sekarang dikenal Benteng Tahula. Benteng ini dibangun 1610 dan selesai pada 1615 saat Gubernur Spanyol Don Jeronimo de Silva (1612-1617). Benteng yang berfungsi sebagai pertahanan dari Portugis ini menjadi basis militer Spanyol hingga tahun 1662.
Perkembangan San Pedro
Pasca Legazpi, benteng mengalami perubahan dan perkembangan. Struktur benteng yang ada saat ini adalah struktur sejak 1738. Â Pada tahun 1898, era Spanyol berakhir di Kepulauan Filipina. Benteng kemudian diserahkan kepada kaum revolusioner Cebuano, penduduk Cebu.
Dari tahun 1937 sampai 1941 benteng digunakan untuk sekolah. Kemudian, selama Perang Dunia II, 1942 sampai 1945, benteng dipakai oleh tentara Jepang utuk berlindung. Ketika pertempuran pembebasan Cebu dari Jepang, benteng tersebut berfungsi sebagai rumah sakit darurat bagi orang-orang yang terluka.
Di dalam benteng terdapat beberapa bagian, struktur atau bagian yang terbesar disebut dengan Cuerpo de Guardia. Di sana menjadi tempat tinggal para prajurit. Tidak jauh dari Cuerpo de Guardia terdapat bangunan lain yang dipakai untuk Letnan yang disebut Vivienda del Teniente (rumah letnan). Ada juga sebuah gudang yang pada zaman dahulu dipakai untuk menyimpan senjata dan amunisi.
Fort San Pedro yang berbentuk segitiga itu, dua sisinya menghadap ke laut sedangkan sisi yang lain menghadap ke daratan. Sisi yang menghadap ke laut dijaga dengan meriam. Ada tiga benteng di tiap sisi benteng yang diberi nama La Concepcion (barat daya), Ignacio de Loyola (tenggara), dan San Miguel (timur laut). Empat belas meriam ditempatkan di sekeliling benteng yang kesemuanya masih ada sampai sekarang. Untuk mengembalikan bentuk asli dari Fort San Pedro, pemerintah kota Cebu melakukan upaya perbaikan dan dilakukan oleh seorang arsitek yang bernama Leonardo Conception.
Lokasi Fort San Pedro berada di kota Cebu tepatnya di jalan A. Pigafetta. Di dalamnya bisa ditemui jejak sejarah Fort San Pedro, Sejarah Cebu dan Sejarah Filina, berbagai artefak Spanyol yang terpelihara dengan baik seperti dokumen Spanyol, lukisan dan pahatan. Di bagian luar benteng terdapat patung Legazpi dan Antonio Pigafetta.
*Tulisan ini juga ada di Blog Pribadi, ONEtimes.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H