"Berapa dana APBN yang dikeluarkan untuk membayar cost recovery industri migas?" tanya Marjolijn Elisabeth Wajong, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) kepada para kompasianer pada kesempatan Kompasiana Nangkring bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Jakarta, 26 Agustus 2016.
Beberapa kompasianer yang hadir mencoba menjawab beragam angka, mulai dari hitungan miliaran sampai triliunan. Suasana sempat hening sejenak setelah semua jawaban dimentahkan oleh ibu yang akrab dipanggil Meity itu.
"Jawabannya... tidak ada!"
Jawaban Meity tampak membuat banyak kompasianer tertegun. Terkesan mereka tidak pernah menyangka bahwa jawabannya tidak ada biaya yang dikeluarkan pemerintah. Artinya, pemerintah tidak ikut patungan dengan swasta dalam kegiatan eksplorasi gas dan minyak bumi. Kok bisa?
Setiap kegiatan eksplorasi minyak bumi dan gas (migas), Negara Indonesia sebagai pemilik cadangan migas mencari rekan bisnis yang kompeten dalam kegiatan eksplorasi. Kedua belah pihak diikat oleh sistem Kontrak Kerja Sama (KKS). Setelah melalui proses lelang, pemenang akan menanggung segala risiko dan biaya dari kegiatan eksplorasi. Negara tidak mengeluarkan modal sepeser pun tidak menanggung risiko apapun.
Fakta di atas bertolak belakang dengan opini umum yang banyak berkembang di masyarakat yang seolah-seolah eksplorasi migas di Indonesia dikuasai oleh asing. Di era pemilu presiden 2014, beredar gambar peta eksplorasi migas di Indonesia yang mayoritas dikerjakan oleh asing. Peta tersebut jelas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai tawar yang rendah di hadapan investor asing yang telah mengambil keuntungan dari harta karun kita.
Keuntungan lain Negara Indonesia dari KKS itu adalah negara mendapat prosentasi bagi hasil yang lebih besar. Negara Indonesia mendapat 85 persen, sedangkan kontraktor "hanya" mendapat 15 persen. Dengan sistem seperti ini, Negara tidak perlu menggadaikan APBN dan menggantung banyak risiko jika seluruh industri hulu migas dikerjakan sendiri. "Eksplorasi itu biayanya mahal sekali. Sebagai gambaran, kalau mau eksplorasi di daerah baru seperti di wilayah (Indonesia bagian) timur  itu bisa mecapai 100 juta USD. (Perlu diingat) setiap kegiatan eksplorasi belum tentu berhasil (menemukan cadangan migas)," tutur Miety.
Namun pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia masih memiliki daya tarik bagi para investor migas? Miety yang juga menjabat President & GM Santos Ltd, perusahaan migas dari Australia, mengakui bahwa Indonesia cukup menggoda. Ada banyak daerah-daerah potensial yang belum terjamah khususnya di Indonesia bagian timur. Namun untuk sampai ke kegiatan eksplorasi cukup memiliki tantangan, apalagi ada berbagai hambatan yang harus dihadapi para investor terkait perizinan. "Prosesnya panjang, dari persiapan sampai siap ngebor itu bisa memakan waktu 15 tahun lamanya. Padahal kontrak Wilayah Kerja yang diberikan pemerintah hanya 30 tahun. Artinya hanya tersisa 15 tahun saja untuk melakukan produksi."
Proses yang panjang itu tidak mengherankan, karena investor harus "menyediakan waktu" 5 tahun untuk mengurus 341 izin di sektor hulu migas. Ini tidak efisien dan senyatanya merugikan negara sendiri. Karena semakin lama prosesnya maka semakin besar cost recovery-nya. Risikonya, waktu izin ekplorasi yang tersisa hanya digunakan untuk membayarkan cost recovery, sehingga bagian pemerintah yang dalam hal ini untuk kemakmuran seluruh rakyat jadi tinggal sedikit.
Revolusi Mental
Pada kesempatan yang sama, apa yang disampaikan Meity diamini oleh Taslim Z Yunus, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas. Ia mengakui masih banyak sistem perizinan yang tumpang tindih. Bahkan sekalipun cadangan migas telah ditemukan, untuk mulai produksinya masih memerlukan waktu yang sangat panjang. "Sebagai contoh, Blok Cepu ditemukan 2001, tapi baru produksi 2016."
Untuk itu, Taslim berpandangan perlu adanya semacam apa yang pemerintah saat ini sebut sebagai revolusi mental. Satu langkah yang penting telah, sedang, dan terus dikejar penerapannya secara menyeluruh adalah penyederhanaan izin. Memang ini "hanya" salah satu tantangan dalam menciptakan iklim investasi yang baik untuk industri hulu migas Indonesia, tetapi jika ini sudah dibereskan maka dampaknya akan sangat terasa.
Langkah pertama telah dilakukan, yakni 42 perizinan kegiatan usaha hulu migas sudah diserahkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Tujuannya agar mempercepat perizinan di hulu Migas. Langkah progresif ini, ternyata masih kurang. Karena 42 perizinan Kementerian ESDM yang sudah ditangani BPKM itu bukan perizinan-perizinan yang paling menghambat. Saat ini masih ada 341 perizinan yang tersebar di 17 instansi di berbagai departemen pemerintah pusat dan daerah. Izin yang begitu banyak, sebagaimana telah dikatakan Meity sebelumnya, membuat waktu persiapan sampai penemuan cadangan migas begitu lama, ditambah jeda waktu antara penemuan cadangan sampai tahap produksi juga memerlukan waktu lama. Padahal KKS-nya hanya 30 tahun.
Untuk menyelesikan masalah ini, SKK Migas mengusulkan penyederhaan izin melalui pembentukan tiga klaster perizinan, yakni: Kelompok perizinan tata ruang; Kelompok perizinan lingkungan, keselamatan dan keamanan; Kelompok perizinan penggunaan sumber daya dan infrastruktur lainnya.
Rinciannya, klaster perizinan tata ruang akan meliputi segala perizinan yang terkait dengan izin prinsip, izin lokasi, IMB dan izin penggunaan jalan. Klaster perizinan lingkungan, keselamatan dan keamanan akan meliputi izin gangguan (HO), UKL/UPL, Amdal, Izin pinjam pakai kawasan hutan, izin lingkungan, izin dumping , izin handak. Dan untuk klaster perizinan penggunaan sumber daya dan infrastruktur lainnya akan meliputi izin pemanfaatan air sungai, izin perlintasan kereta api, dan izin perairan.
Betapa tidak, sampai saat ini saja SKK Migas mencatat, industri hulu migas menyumbang sekitar Rp 310 triliun penerimaan negara di tahun 2014; Sekitar 32.000 tenaga kerja nasional bekerja pada industri hulu migas; Semenjak 2009, transaksi industri hulu migas melalui bank nasional mencapai sekitar US$44,9 miliar; Sepanjang 2014, komitmen TKDN pada pengadaan industri hulu minyak dan gas bumi mencapai 54 persen; Industri hulu migas menjalankan program tanggung jawab sosial.
Facebook: Fransiskus Agung Setiawan Â
Twitter: Â @fransalchemist
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H