Berangkat dari rasa memiliki itulah maka timbul argumentasi hak asasi manusia (HAM). "Hak saya dong mau tinggal di daerah seperti ini. Suka-suka gue mau mandi air tercemar hitam, masalah buat loe?!" Mungkin ungkapan eksplisit ini bisa menggambarkan bagaimana resahnya mereka ketika hidupnya diusik oleh pemerintah daerah.
Satu hal yang dilupakan setiap bicara soal HAM adalah HAM itu terbatas atau tidak mutlak. Sekalipun HAM dikatakan hak yang melekat pada invididu dari awal mula dan telah dijamin dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Satu-satunya yang membatasi HAM seseorang adalah HAM orang lain. Jadi argumentasinya, HAM masyarakat terdampak penggusuran dibatasi oleh HAM orang lain yang ingin hidup tanpa banjir, hak untuk hidup layak, hak untuk menikmati sungai dan laut yang bersih beserta kekayaan yang ada di dalamnya.
HAM masyarakat terdampak juga diperhatikan. Itulah mengapa disediakan tempat tinggal baru di rusun, kesempatan untuk bekerja, anak-anak diberi tempat bermain yang layak, ke sekolah mendapatkan akses transportasi dan fasilitas Kartu Jakarta Pintar, dan lain sebagainya. Memang tidak mudah bagi masyarakat terdampak menerima kebijakan ini. Kita tidak mengatakan, "Dasar tidak tahu terima kasih, dikasih tempat yang jauh lebih layak malah protes." Tidak bisa seperti itu!
Sistem budaya yang telah terbentuk melalui proses yang lama bahkan telah menjadi milik sungguh melekat. Kehidupan seperti ini telah menyatu dengan budi dan roso mereka. Pemda harus membantu mereka untuk terus menerus melakukan pendampingan supaya tidak tenggelam dalam shock cultural atau bahkan sampai menimbulkan trauma. Pemda harus menjamin mereka mampu move on.
Sedangkan untuk masyarakat terdampak, hidup harus terus berlangsung. Budaya yang mereka bangun selama ini hasil dari konstruksi berpikir mereka. Pikiran manusia tidak berhenti, tapi terus berkembang dan berevolusi. Kunci keberadaan manusia sampai detik ini berkat otak yang dikaruniakan Tuhan kepada kita semua.
Di tempat baru, pola pikir juga harus berubah untuk membentuk sebuah budaya baru. Ini memerlukan proses apalagi sampai menjadikan budaya baru ini sebagai milik. Itulah pentingnya pendampingan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Kalau pola pikir tidak berubah dan pendampingan tidak terjadi maka tidak mengherankan ada unsur penolakan atau ada masyarakat yang tidak betah. Â
Perubahan itu selalu menyakitkan atau minimal ada rasa nyaman yang terganggu. Sekali lagi itu wajar, karena sebagian atau seluruh budaya yang telah kita miliki hilang. Sesuatu yang kita miliki kalau diambil orang pasti kita bereaksi. Tetapi jangan lupa, untuk sesuatu yang lebih baik harus berani melakukan perubahan. Harus mau membuka pikiran secara luas, supaya kita dengan pikiran itu pula mampu membangun budaya baru dan menjadikannya milik.
Artikel ini juga ditayangkan di blog pribadi www.fransalchemist.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H